KESETARAAN
GENDER DAN KEKERASAN
RUMAH TANGGA
DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM
(Orinton Purba)
Pengantar
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA)
mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam tiga tahun
terakhir mengalami peningkatan. Bahkan, kasus kekerasan terhadap anak yang
bermasalah dengan hukum juga meningkat. Dalam data yang ada, pada 2009 kasus
KDRT yang berhasil dicatat KPPPA berdasar pada data Kepolisian sebanyak 143.586
kasus. Pada 2010 berjumlah 105.103 kasus. Memasuki 2011, kasus yang ada
sebanyak 119.107. Sementara pada kasus anak bermasalah dengan hukum juga
menunjukkan jumlah serupa. Pada 2007, sebanyak 3.145 kasus terjadi. Jumlah
tersebut mengalami peningkatan pada 2008 dan 2008. "2008 sebanyak 3.380 dan
pada 2009 sekitar 4.213," Selain itu, lanjut dia, berdasarkan data dari
Kementerian Hukum dan HAM 2008, yakni Ditjen Pemasyarakatan, tercatat sebanyak
5.360 narapidana adalah anak-anak. Jumlah tersebut juga mengalami peningkatan
pada 2010 yang menjadi 6.308. Pada data tersebut, kekerasan yang terjadi adalah
seputar fisik, psikis, dan ekspolitasi. Menurut dia, meingkatkanya kasus yang
ada masih dikarenakan persoalan ekonomi. Selain itu, ada juga persoalan sosial
budaya masyarakat yang mensubordinasikan perempuan dan anak.Tak hanya itu,
sambung dia, permasalahan mengenai produk perundang-undangan yang masih banyak
bias gender dan bersifat diskriminatif juga menjadi salah satu penyebab. Karena
itu, pihaknya berharap agar para hakim dapat memutus setiap perkara KDRT dan
anak dengan seadil-adilnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional)
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi
perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan
penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara
yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan (Convention on the
Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7
tahun 1984. Konvensi Internasional
lainnya yang mendukung penghapusan diskriminasi terhadap perempuan antara lain;
pertama, Pada tahun 1994, di Kairo diselenggarakan Konferensi Dunia tentang
Kependudukan dan Pembangunan. Dalam
deklarasi ini secara tegas dinyatakan perlunya meningkatkan kesetaraan gender,
keadilan gender dalam pembangunan, dan
melibatkan perempuan pembangunan masyarakat, ekonomi, kehidupan politik dan
sosial baik di level nasional, daerah dan internasional, termasuk penghapusan
segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Kedua, Pada tahun 1995, di kota Beijing, China diselenggarakan Konferensi Perempuan
Sedunia. Hasil-hasil Deklarasi ini
dituangkan dalam Rencana Aksi Beijing (BPfA) yang memuat 12
wilayah kritis yang perlu mendapat perhatian yakni: kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan,
kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, ekonomi, pengambilan
keputusan, mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan, hak-hak asasi perempuan,
media massa, lingkungan serta anak-anak perempuan. Ketiga, Pada Tahun
2000, pada KTT Millenium ditetapkan Kesepakatan ”Millenium Development
Goals” atau sasaran pembangunan milenium. Ada delapan (8) tujuan MDGs yang
terkait satu sama lain, yaitu: (1). Menghapuskan
kemiskinan dan kelaparan dengan target menurunkan proporsi penduduk yang
tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar per hari menjadi setengahnya antara
1990-2015. (2).
Mencapai pendidikan dasar bagi semua dengan target
menjamin semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan jenjang pendidikan dasar
(SD dan SMP). (3).
Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
dengan target menghilangkan ketimpangan gender, (4). Menurunkan angka kematian anak, (5). Meningkatkan kesehatan ibu dengan target menurunkan angka kematian ibu , (6). Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain dengan
target mengendalikan penyebaran HIV/AIDS, (7). Memastikan kelestarian lingkungan hidup dengan target memadukan prinsip
pembangunan berlanjutkan,
(8). Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan dengan
target yaitu mengembangkan lebih lanjut sistem perdagangan dan
keuangan yang terbuka,menangani kebutuhan khusus negara-negara miskin, mengenai kebutuhan khusus negara-negara tanpa pantai
serta negara-negara kepulauan kecil, penanganan
secara komprehensif persoalan hutang negara-negara berkembang melalui
upaya-upaya nasional maupun internasional agar dapat berkelanjutan dalam jangka
panjang. bekerjasama dengan negara berkembang untuk menerapkan strategi
pengembangan pekerjaan produktif dan layak bagi kaum muda, bekerjasama dengan
perusahaan farmasi, menyediakan akses kepada obat-obat esensial yang terjangkau
bagi negara berkembang, bekerja sama dengan pihak swasta untuk memastikan
pernyebaran keuntungan teknologi baru.
Juga berdasarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi
oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No
23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Negara Indonesia sendiri telah mengenal bentuk-bentuk tindak kekerasan
terhadap perempuan dari dimulainya sejarah ditulis di negeri ini. Bentuk-bentuk
seperti kawin paksa, poligami, perceraian secara sepihak tanpa mempertimbangkan
keadilan bagi isteri dan anak, tindak pemukulan dan penganiayaan, dan
bentuk-bentuk kesewenangan lain terhadap perempuan merupakan contoh yang tidak
sulit untuk ditemukan pada masyarakat Indonesia.
Tindak kekerasan ini terjadi dalam seluruh aspek hubungan antara manusia, yaitu
dalam hubungan keluarga dan dengan orang-orang terdekat lainnya (relasi
personal), dalam hubungan kerja, maupun dalam menjalankan hubungan sosial
kemasyarakatan secara umum. Kekerasan yang dialami oleh perempuan ini sangat
banyak pula bentuknya, baik yang bersifat psikologis, fisik, seksual, ekonomis,
budaya dan keagamaan, hingga yang merupakan bagian dari sebuah sistem
pengorganisasian lintas negara.Berkaitan dengan maraknya kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi secara khusus dalam lingkungan rumah tangga dan terjadi
dalam berbagai bentuk kekerasan ini, dengan korban kekerasan yang kebanyakan berkelamin
perempuan, maka berkembang pula istilah gender, kesetaraan gender, keadilan
gender dan pengarusutamaan gender yang diasosiasikan
untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga. Gender tidak mengacu pada
perbedaan biologis antara perempuan dan lakilaki melainkan hubungan ideologis
dan materil antara kedua kelompok jenis kelamin tersebut dengan menggunakan
terminologi ‘maskulin’ dan feminin’. Setiap masyarakat dan kebudayaan memiliki
karakteristik emosional dan psikologis tertentu tentang laki-laki dan perempuan
dan oleh karena itu setiap individu diharapkan mampu menjalankan hidupnya
berdasarkan karakter feminin dan maskulin dan berprilaku berdasarkan karakter
tersebut)”
Rumusan Permasalahan
Beberapa propagandis anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) beranggapan bahwa KDRT adalah masalah gender,
yakni disebabkan adanya ketidak-adilan gender. Adanya subordinasi perempuan
telah menempatkan mereka sebagai korban kekerasan oleh pria. Hal demikian
hamper terjadi bagi setiap suku di Indonesia. Oleh sebab itu, makalah ini akan
membahas mengenai, apa yang dimaksud dengan konsep Gender, apa yang menjadi
dasar hukumnya, dan juga faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan rumah tangga
di Indonesia. Tulisan ini juga ingin
mengupas apakah hukum, dalam hal ini UU KDRT, dapat dijadikan alat untuk
mengubah masyarakat ke arah keadaan yang lebih baik, dalam hal ini menghapuskan
atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT, sebagaimana dalil yang diungkapkan
oleh Roscoe Pound dalam Sociological
Jurisprudence, bahwa hukum dapat dipergunakan sebagai alat rekayasa sosial.
LANDASAN TEORI
Ada
beberapa yang dimunculkan oleh para ilmuan mengenai kesetaraan gender, antara
lain:
Teori
Nurture – Menurut teori
ini bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil
konstruksi sosial budaya yang mengakibatkan terjadinya peran, tugas dan
tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial selalu
memposisikan perempuan dan laki-laki pada status yang berbeda. Laki-laki
diidentikkan dengan kelas bourjuis (bangsawan) dan perempuan sebagai proletar
(budak atau tertindas). Paham ini memperjuangkan kesamaan proporsional (perfect equality) dalam segala aktivitas
masyarakat seperti pada eksekutif, legislatif, usahawan, politikus dan berbagai
profesi.
Teori
Nature ( Alamiah)
– Teori ini menerangkan perbedaan sosiopolitis antara laki-laki dan perempuan
dengan menggunakan pendekatan biologis dan teologis, yang diindikasikan dengan
adanya peran dan tugas yang berbeda secara kodrat. Manusia, baik laki-laki
maupun perempuan memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Kemudian hal ini muncul dalam hubungan antara laki-laki dan
perempuan, khususnya dalam pembagian tugas dan tanggungjawab (division of labor) baik dalam keluarga
maupun masyarakat. Sebagaimana yang diajarkan oleh Socrates dan Plato, teori
ini bersifat statis karena secara kategoris tidak memberikan perubahan
pandangan mengenai struktur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
menunjukkan ciri-ciri kekekalan dan universal dari perempuan,yang tidak
memberikan peluang bagi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam
menjalankan fungsinya.
Teori
Equilibrium
(Equilibrium
theory) – Teori ini lebih mengedepankan konsep kemitraan dan
keharmonisan Hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Menurut teori ini setiap peran dan kepentingan perempuan dan
laki-laki harus mempertimbangkan tingkat keseimbangan. Hubungan perempuan dan
laki-laki harus dilandasi dengan kebutuhan bersama untuk menciptakan kemitraan
yang harmonis. Baik perempuan atau laki-laki memiliki kelebihan dan kekurangan,
oleh karena itu perlu menciptakan kerjasama yang setara untuk melengkapi
kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Teori Konflik: Dasar dari
Teori ini adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada
aspek kekuasaan (power) dan
kepentingan (interest), namun
sebahagian besar kalangan modern feminist
beranggapan bahwa kekuasaan tidak dapat dipertahankan tanpa disertai
perjuangan. Oleh karena itu, usaha dari gerakan ini adalah untuk memperoleh hak
dan perluasan kekuasaan untuk perempuan dalam Kegiatan pemerintahan dan sektor
lainnya yang selama ini didominasi oleh laki-laki.
Berdasarkan
teori-teori yang disebutkan di atas, teori yang paling sesuai dengan hakekat
kesetaraan dan keadilan gender adalah teori equilibrium sebab harapan yang
dinginkan adalah kemitraan antara
laki-laki dan perempuan yang harmonis dalam
Kegiatan kehidupan sehari-hari. Kemitraan ini akan menciptakan
keharmonisan yang akhirnya menciptakan
keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Demikian halnya dalam pembangunan,
perspektif laki-laki dan peran serta perempuan pembangunan.
Pengertian Gender
Istilah
Gender berasal dari Bahasa Latin, genus, berarti tipe atau jenis. Gender merupakan ciri-ciri
peran dan tanggungjawab yang dibebankan pada perempuan dan laki-laki, yang
ditentukan secara sosial dan bukan berasal dari Pemberian Tuhan. Yang termasuk dalam
konsep gender adalah harapan komunitas tentang karakteristik, perilaku, serta
sikap perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh pekerjaan rumah tangga selalu
dikaitkan dengan perempuan. Sebaliknya pekerjaan yang berorientasi di luar
rumah cenderung diarahkan Kepada laki-laki. Konsep gender ini sering disamarkan
dengan konsep seks atau jenis Kelamin. Gender dan seks atau jenis Kelamin dapat
diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Artinya
jika berbicara tentang gender tidak akan terlepas dari pembahasan tentang seks
atau jenis kelamin. Namun kedua konsep ini memiliki batasan yang jelas. Konsep
seks adalah kenyataan biologis yang membedakan antara manusia dimana telah diidentikkan dengan
perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan. Konsep seks mengacu pada hasil ciptaan
Tuhan yang bersifat kekal dan tidak dapat diubah. Misalnya laki-laki memiliki
penis dan memproduksi sperma sedangkan
perempuan memiliki vagina, mengalami menstruasi. Perbedaan seperti ini
selalu sama di seluruh belahan dunia,
tanpa dibatasi oleh gap sosial, budaya, ataupun tradisi dari manusia itu
sendiri. Hal ini berarti dimanapun dan kapanpun jenis Kelamin akan tetap sama
dan tidak dapat berubah. Untuk lebih
rinci mengenai perbedaan antara konsep seks dan gender dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Seks/Jenis
Kelamin
|
Gender
|
Fisik
(alat reproduksi) yang melekat pada perempuan dan laki-laki
|
Sifat/perilaku,
peran tanggungjawab perempuan dan laki-laki.
|
Bersifat
biologis dan alamiah
|
Bersifat
social budaya
|
Pemberian
Tuhan (Kodrat)
|
Dibentuk
oleh manusia (bukan kodrat)
|
Tidak
bisa dipertukarkan
|
Bisa
dipertukarkan
|
Tidak
berubah dari waktu ke waktu
|
Berubah
dari waktu ke waktu
|
Tidak
berbeda dari suatu tempat ke tempat lain.
|
Berbeda
dari suatu tempat ke tempat lain
|
Stereotipi
Karakterisasi ini menjadi stereotipi karena memuat tentang
bagaimana seorang perempuan atau laki-laki seharusnya menurut harapan
masyarakat dan bukanlah sesuatu yang intrinsik dimiliki oleh masing-masing
jenis kelamin tersebut. Stereotipi ini juga membagi peran yang dimainkan oleh masing-masing
jenis kelamin dalam kehidupan sehari-hari dimana laki-laki “dipercayakan”
menjalankan peran di ranah publik dan pengambilan keputusan, sementara
perempuan mengasuh ranah domestik, meskipun pada kenyataannya, perempuan juga
harus melangsungkan peran produktif, reproduktif dan sosial sekaligus
(multiple-burden). Melalui proses pewarisan nilai-nilai atau sosialisasi
stereotipi ini kemudian menguatkan anggapan bahwa laki-laki memiliki nilai
lebih daripada perempuan. Hal ini menempatkan perempuan dalam posisi subordinat
dalam masyarakat sementara laki-laki ditempatkan pada posisi yang lebih
penting/unggul dalam hampir semua aspek kehidupan. Kondisi inilah yang kemudian
disebut sebagai Patriarki. Patriarki ini kemudian menimbulkan relasi hubungan
kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang saat ini masih
diterima oleh kebanyakan perempuan sebagai hal yang biasa dan diterima oleh kebanyakan
laki-laki sebagai hal yang benar. Belum banyak laki-laki dan perempuan yang
memandang keadaan tersebut sebagai wujud diskriminasi terhadap perempuan, dan
menyadari bahwa konsekuensi dari diskriminasi tersebut adalah semakin banyak
terjadi berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan. Kondisi ini mengantarkan
Indonesia untuk mengesahkan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”) dengan harapan
dapat menjadi babak permulaan yang baik bagi upaya mengakhiri kekerasan dalam
rumah tangga.
Obyek Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Mayoritas Perempuan? Kaum feminis mengungkapkan bahwa semua
kekerasan dalam rumah tangga menjadikan perempuan sebagai objeknya. Salah
satunya diungkapkan oleh sebuah studi, yaitu Video The Vienna Tribunal,
“Women’s Right are Human Right”, (berdasarkan rasio jenis kelamin yang
diharapkan) yang menunjukan b ahwa populasi dunia berkurang dengan 60.000.000 (enam puluh juta) perempuan akibat
pengguguran selektif terhadap janin perempuan, pembunuhan bayi perempuan, tidak diberikannya Kesehatan
medis dan makanan kepada anak perempuan dan perempuan dewasa, dan akibat
pembunuhan terhadap istri. Namun satu hal yang sedikit terlupa pada proses ini,
yaitu kekerasan itu sendiri adalah suatu kejahatan, dan kejahatan bukanlah
perkara gender (jenis kelamin). Dalam hal ini, kejahatan bisa menimpa siapa
saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa
pula perempuan. Dengan demikian hukum pun harus menjatuhkan sanksi tanpa melihat
apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya
laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum atau
tidak.
Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena
adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai
peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak
menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki
sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada
kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti-KDRT
dengan mengatas-namakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru
bias gender. Cara pandang masyarakat yang bias gender menjadi penyebab utama terjadinya
kekerasan terhadap perempuan. Kondisi opresi dan subordinasi terhadap perempuan
yang diciptakan dan dilestarikan, menjadikan kekerasan terhadap perempuan terus
berlangsung. Kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal. Pertama, faktor individu. Tidak adanya
pengetahuan dan kepatuhan yang dalam akan hukum
pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri dalam
rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi
seseorang untuk melanggar hukum, termasuk melakukan tindakan KDRT.
Kedua,
faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi
penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik.
Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya
sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai
budaya dan kemanusiaan serta menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia.
Beberapa tokoh menyebutkan bahwa ini tak lain dan tak bukan ialah sistem
kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan. Penerapan sistem itu telah
meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi
misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan.
Pembangunan Negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku
kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian
bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.
Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan
pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah
satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT.
Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal
ekonomi. Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah
melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan
yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dll. Dari sisi sosial-budaya,
gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku
dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti
homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu
ketidakpahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana
seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah
dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak
pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada
masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada
pada derajat sangat rendah. Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan
hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan.
Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki.
Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam
rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami,
pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada
istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa
diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan
menyeluruh. Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya)
pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia,
juga bukan penyakit yang menimpa manusia.
Peran Negara
Peran Negara Pada saat isu kekerasan terhadap perempuan
terangkat ke permukaan, dan bahkan menjadi populer, terlihat secara jelas akan
adanya satu persoalan yang terpinggirkan, yakni pertanyaan kritis mengenai
kekerasan terhadap perempuan oleh siapa atau oleh apa (who against whom?).
Ketika kata-kata oleh siapa atau apa tidak muncul atau tersamarkan, maka
sebetulnya sudah dapat diduga bahwa upaya penghapusan kekerasan terhadap
perempuan pun pada gilirannya akan menjadi bias. Kejahatan, dalam hal ini
Kekerasan, terhadap perempuan sebelum disahkannya keberlakuan UU PKDRT oleh
negara, hanya diatur oleh satusatunya produk hukum yang dapat dijadikan acuan
yaitu Kitab Undangundang Hukum Pidana (“KUHP”) warisan kolonial yang diadopsi
menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Semua persoalan kekerasan yang dihadapi
perempuan, baik dewasa maupun anak-anak hanya bisa mengacu pada KUHP, karena
dalam tingkat nasional memang belum ada alternative perangkat hukum lainnya.
Fakta menunjukkan bahwa KUHP yang selama ini digunakan oleh pihak
Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan justru merugikan perempuan sebagai korban
kekerasan. Sering terjadi, kategori kekerasan yang secara faktual dialami oleh
perempuan unsur-unsurnya tidak memenuhi pasal-pasal yang ada dalam KUHP.
Implikasinya, pihak penegak hukum kemudian 9 Yayasan Jurnal Perempuan dan The
Asia Foundation Indonesia, Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan menghentikan
proses hukum yang sedang dijalankan. Kasus yang dilaporkan tidak dapat
dilanjutkan hingga ke pengadilan. Ini menunjukkan bahwa secara umum negara
masih belum mampu memberi perlindungan terhadap perempuan, khususnya mereka
yang menjadi korban. Kebijakan dan peraturan termasuk tetapi tidak terbatas
pada KUHP pun masih banyak yangbias gender. Dari keadaan ini, dapat dikatakan
bahwa negara pun berperan dalam menyuburkan tindak kekerasan terhadap
perempuan. Patut untuk disadari bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak semata-mata
hanya merupakan tindak kriminal belaka. Tetapi, juga merupakan problem sosial
yang harus segera diatasi. Secara kualitas maupun kuantitas, kekerasan terhadap
perempuan semakin meningkat. Dalam kondisi seperti ini, negara seyogyanya ikut
bertanggungjawab dalam hal memberikan rasa aman bagi kaum perempuan.
Ketidakmampuan negara dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan justru melahirkan
kebijakan yang mempermudah segalanya, yang membatasi ruang gerak perempuan.
Karena itu negara turut bertanggungjawab terhadap kekerasan yang terjadi pada
perempuan, atas kebijakannya yang turut serta melanggengkan ketidakadilan
gender dan diskriminatif.
Negara seharusnya sesegera mungkin memberikan perhatiannya terhadap
permasalahan ini, karena perempuan membutuhkan negara. Bukankah perempuan sudah
cukup pantas untuk diperhatikan negara? Karena negara tanpa perempuan bukanlah
negara, negara tanpa perempuan tidak akan bisa berkembang, tidak akan bisa
bertumbuh. Karena setiap ‘isi’ negara, yaitu warga negara, termasuk para
pelaksana pemerintahan negara, harus lahir dari rahim perempuan. Negara mutlak
memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pelayanan pada perempuan
korban kekerasan. Dengan begitu secara otomatis, negara harus mengubah
kebijakan yang masih tidak konsisten, atau bahkan bertentangan dengan
konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi. Negara seharusnya
memberikan perhatiannya terhadap permasalahan ini, janganlah negara terlihat
seperti melepas tangan, bahkan tidak peduli mengenai kekerasan yang terjadi
pada perempuan. Apakah tidak cukup kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh
masyarakat, sehingga negara pun harus turut campur dalam melakukan kekerasan
terhadap perempuan, dengan cara mengabaikan aturan-aturan yang bias gender dan yang
‘memperlancar’ dilakukannya kekerasan terhadap perempuan? Sebagai tanggapan
atas segenap seruan dari masyarakat tersebut, maka pada tahun 2004, pemerintah
Negara Republik Indonesia kemudian mengesahkan keberlakuan UU PKDRT dan
selanjutnya diikuti dengan pengesahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Isu Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) dalam pandangan sosiologi hukum menggambarkan bahwa mengenalkan
hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah
Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah
Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial
tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh
masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat
pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk
menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturanaturan
tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan - kebiasaan lain,
tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan Dunia global saat ini.
Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit,
karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut
satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak berubah setelah ditetapkan
karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya
arena sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous Social Field (Moore,
1983). Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-aturan hukum yang saling
bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yang sangat
besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum
negara menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati.
Dalam Socio-Legal
Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam
masyarakat yang “memberi celah (loop
holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap
perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum
negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini
juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum
sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada. Disini Penulis
ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata
uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut
oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum
itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan
adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini,
budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang
timpang dan hukum melegitimasinya.
Dalam hal sudah berlakunya UU PKDRT, dengan kata lain, sudah ada
instrumen hukum yang menjamin perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan
dalam rumah tangga, apakah dapat dipastikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari
berbagai macam perangkat tersebut dapat ditegakkan? Sebagian Sarjana Hukum
percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam
masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat
diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa
hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga
masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang
dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan
superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain. Apakah benar demikian?
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya
acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang
menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh
masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah
sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik
sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat
diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu
datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi
yaitu negara. Sebagai contoh, apakah warga masyarakat Amungme yang tinggal di pedalaman
Opitawak, Papua tahu dan mengerti akan artinya hukum Negara bagi mereka? Apakah
maknanya UU PKDRT bagi mereka? Atau, sebagai contoh yang lainnya, bahkan bagi
masyarakat di kota-kota besar, terutama kelompok miskin kota, yang tidak
memiliki akses kepada sumber-sumber kekuasaan dan informasi, apakah artinya
hukum negara dalam kehidupan mereka? Kembali kepada pertanyaan mengenai apakah
dengan disahkannya keberlakuan UU PKDRT, undang-undang ini dapat merekayasa
masyarakat sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
dapat diminimalisir dalam praktek?. Sangat tidak mudah untuk menjawab pertanyaan
ini. Introduksi “hukum baru” akan berhadapan dengan budaya patriarkhis dalam
masyarakat. Dalam hal ini sebagian dari jawaban setidaktidaknya dapat diberikan
dengan menganalisis hukum sebagai suatu system menurut Friedman, yang terdiri
atas 3 (tiga) komponen, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Pertama, berkaitan dengan Substansi Hukum, di
samping terdapat instrumen hukum berupa UU PKDRT, yang bertujuan memberikan
keadilan kepada perempuan korban KDRT, di sisi lain, terdapat masalah rumah tangga,
perundang-undangan, dan kebijakan lain yang memberikan dampak merugikan bagi
perempuan. Bahkan kerapkali misinterpretasi ajaran agama dan adat yang
meneguhkan subordinasi perempuan, diakomodasi dalam substansi peraturan
perundang-undangan. Para penganut Feminist Legal Theory mengatakan bahwa
prinsip dasar dari sistem hukum bersifat patriarkhis, dalam arti hukum dibuat
dan disusun dari kacamata “laki-laki” untuk kepentingan “laki-laki” dan
karenanya mengabaikan kepentingan perempuan dan menempatkan perempuan pada
relasi kekuasaan yang timpang baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Kedua,
dalam penegakan hukum di lapangan, Struktur Hukum, para penegak hukum
seringkali tidak berpihak pada korban perempuan, bukan saja karena
ketidakpahaman dan ketiadaan perspektif perempuan di kalangan para penegak
hukum, tetapi juga struktur dan prosedur yang ketat menghalangi para penegak
hukum untuk membuat terobosan dan interpretasi yang baru. Keberlangsungan suatu
struktur memang mensyaratkan adanya ketaatan pada aturan dan prosedur.
Pemikiran yang sangat Legalis, yang dianut oleh para Sarjana Hukum pada
umumnya, terutama yang berkecimpung dalam Hukum Pidana, menyebabkan sukarnya mereka
memberi interpretasi lain atau melakukan terobosan-terobosan yang dibutuhkan.
Ketiga,
masih kuatnya Budaya Hukum masyarakat, yaitu kekuatankekuatan sosial berupa
ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan sebagainya, yang secara
potensial telah menempatkan perempuan dalam posisi submissive. Dari keseluruhan
sistem hukum ini, Budaya Hukum merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap dapat tidaknya suatu Substansi Hukum bekerja dalam masyarakat. Apakah
UU PKDRT dapat diimplementasikan dengan baik atau tidak, akan sangat tergantung
pada seberapa kuatnya keselarasannya dengan budaya hukum patriarkhis yang dianut
oleh masyarakat Indonesia.
KESIMPULAN
1.
Fakta menunukkan pada
2009 kasus KDRT yang berhasil dicatat KPPPA berdasar pada data Kepolisian
sebanyak 143.586 kasus. Pada 2010 berjumlah 105.103 kasus. Memasuki 2011, kasus
yang ada sebanyak 119.107. Sementara pada kasus anak bermasalah dengan hukum
juga menunjukkan jumlah serupa. Pada 2007, sebanyak 3.145 kasus terjadi. Jumlah
tersebut mengalami peningkatan pada 2008 dan 2008. "2008 sebanyak 3.380
dan pada 2009 sekitar 4.213. Berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM
2008, yakni Ditjen Pemasyarakatan, tercatat sebanyak 5.360 narapidana adalah
anak-anak. Jumlah tersebut juga mengalami peningkatan pada 2010 yang menjadi
6.308 kasus.
2.
Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam
pandangan sosiologi hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam
arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah
Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah
Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial
tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh
masyarakat, yang disebut sebagai Self
Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu
instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan
gender, harus dilakukan secara hati-hati.
3.
Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada
---Hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama,
dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu
masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah
budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan
adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini,
budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang
timpang dan hukum melegitimasinya.
4.
Teori
Equilibrium
(Equilibrium
theory) – Teori ini lebih mengedepankan konsep kemitraan dan
keharmonisan Hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam keluarga maupun
dalam masyarakat. Menurut teori ini setiap peran dan kepentingan perempuan dan
laki-laki harus mempertimbangkan tingkat keseimbangan. Hubungan perempuan dan
laki-laki harus dilandasi dengan kebutuhan bersama untuk menciptakan kemitraan
yang harmonis. Baik perempuan atau laki-laki memiliki kelebihan dan kekurangan,
oleh karena itu perlu menciptakan kerjasama yang setara untuk melengkapi
kelebihan dan kekurangan masing-masing.Teori ini paling sesuai dengan hakekat kesetaraan dan
keadilan gender adalah teori equilibrium sebab harapan yang dinginkan
adalah kemitraan antara laki-laki dan
perempuan yang harmonis dalam Kegiatan
kehidupan sehari-hari. Kemitraan ini akan menciptakan keharmonisan yang
akhirnya menciptakan keadilan bagi
laki-laki dan perempuan. Demikian halnya dalam pembangunan, perspektif laki-laki dan peran serta perempuan dalam pembangunan.
5.
Peran Negara dalam menanggulangi maraknya kasus kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga tidak sepatutnya berhenti pada pengesahan
berlakunya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia
yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak
mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU
PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada
tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir
kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
6.
Dengan diundangkannya UU PKDRT, yaitu bahwa instrumen hukum yang
melarang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, akan dapat efektif untuk penghapuskan, atau setidaknya mengurangi,
terjadinya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, jika didukung dengan
budaya hukum masyarakat yang menempatkan perempuan pada relasi kekuasaan yang setara
dengan laki-laki.
DAFTAR PUSTAKA
Asri Supatmiati, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, (Jakarta, www.baitijannati.wordpress.com, 2007)
Beckman, Peter R & D’Amino, Francine. Women, Gender and
World Politics: Perspectives, Policies and Prospect. (USA: Greenwood Publishing
Group, Inc. 1994).
Bedsaida, TA-Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta, 2007)
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia.
Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004).
Fakih, Mansour. Analisis Gender&Transformasi Sosial.
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005).
Irianto, Sulistyowati. Perempuan&Hukum,Menuju Hukum yang
Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006).
Irianto, Sulistyowati dan L.I. Nurtjahyo. Perempuan di
persidangan : Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan. (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. 2006).
Komnas Perempuan.Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.
(Jakarta: Ameepro, 2002.
Program Gender dan Seksualitas FISIP UI dan Ford Foundation.
Seksualitas: Teori dan Realitas.(Depok, 2004).
Rahayu, Yuni Satia & Laila, Siti Noor. Sepatu Lars di Rahim
Ibu. (Jakarta:
Grafika Indah, 2004).
Saadawi, Nawal El. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2001).
Salman, Otje dan Anthon F. Sutanto. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. (Bandung:Alumni,
2004).
Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation. Negara dan
Kekerasan Terhadap Perempuan. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000).
Yentriani, Andy. Politik Perdagangan Perempuan. (Yogyakarta:
Galang Press, 2004).