Tuesday, January 29, 2013

Aliran Filsafat Hukum (1)


ALIRAN-ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
(Bagian-1)
 Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pembagian aliran/madzhab filsafat hukum menurut pendapat dari Lili Rasjidi, seorang guru besar imu hukum dari Universitas Padjadjaran, Bandung dengan penjelasan sebagai berikut:
Aliran Hukum Alam:   
Aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi. Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
 (1). Irrasional:
Aliran ini berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam 4 golongan, yaitu: (a). Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia. (b). Lex Divina, bagia dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang diterimanya. (c). Lex Naaturalis, inilah yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia. (d). Lex Posistivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
       (2). Rasional:
Sebaliknya, aliran ini mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam. Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
      Pendasar hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
Tokoh penting lainnya dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik Akal Budi Praktis (kritik der praktischen Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).
      
Metde kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze), tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru pada manusia ideala berkepribadian humanistis.
      Salah satu karya Kant yang berjudul Metaphysische Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan. Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari rasio manusia.
 Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist, das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa, san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan hukum.
 
Aliran Hukum Positif
Sebelum aliran ini lahir, telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut dengan Legisme yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, dalam hal ini satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang.
 1.    Analitis
 Pemikiran ini berkembang di Inggris namun sedikit ada perbedaan dari tempat asal kelahiran Legisme di Jerman. Di Inggris, berkembang bentuk yang agak lain, yang dikenal dengan ajaran Positivisme Hukum dari John Austin, yaitu Analytical Jurisprudence. Austin membagi hukum atas 2 hal, yaitu:
 
a.    Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
b.    Hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
-       hukum dalam arti yang sebenarnya. Jenis ini disebut sebagai hukum positif yang terdiri dari hukum yang dibuat penguasa, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya, hukum yang dibuat atau disusun rakyat secara individuil yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-haknya, contoh hak wali terhadap perwaliannya.
-       Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, dalam arti hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, contoh: ketentuan-ketentuan dalam organisasi atau perkumpulan-perkumpulan.
Menurut Austin, dalam hukum yang nyata pada point pertama, di dalamnya terkandung perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Sehingga ketentuan yang tidak memenuhi keempat unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hukum. 
 2.    Murni
Ajaran hukum murni dikatagorikan ke dalam aliran positivisme, karena pandangan-pandangannya tidak jauh berbeda dengan ajaran Auistin. Hans Kelsen seorang Neo Kantian, namun pemikirannya sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan Rudolf Stammler. Perbedaannya terletak pada penggunaan hukum alam. Stanmmler masih menerima dan menganut berlakunya suatu hukum alam walaupun ajaran hukum alamnya dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedang Hans Kelsen secara tegas mengatakan tidak menganut berlakunya suatu hukum alam, walaupun Kelsen mengemukakan adanya asas-asas hukum umum sebagaimana tercermin dalam Grundnorm/Ursprungnormnya.
 Ajaran Kelsen juga dapat dikatakan mewakili aliran positivisme kritis (aliran Wina). Ajaran tersebut dikenal dengan nama Reine Rechtslehre atau ajaran hukum murni. Menurut ajaran tersebut, hukum harus dibersihkan dari dan/atau tidak boleh dicampuri oleh politik, etika, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Ilmu (hukum) adalah susunan formal tata urutan/hirarki norma-norma. Idealisme hukum ditolak sama sekali, karena hal-hal ini oleh Kelsen dianggap tidak ilmiah. Adapun pokok-pokok ajaran Kelsen adalah sebagai berikut:
  1. Tujuan teori ilmu hukum sama halnya dengan ilmu-ulmu yang lain adalah meringkas dan  merumuskan bahan-bahan yang serba kacau dan keserbanekaragaman menjadi sesuatu yang serasi.
  2. Teori filsaft hukum adalah ilmu, bukan masalah apa yang dikehendaki, masalah cipta,bukan karsa dan rasa.
  3. Hukum adalah ilmu normatif, bukan ilmu ke-alaman (natuurwetenschap) yang dikuasai oleh hukum kausalitas.   
  4. Teori/filsafat hukum adalah teori yang tidak bersangkut paut dengan kegunaaan atau efektivitas norma-norma hukum.
  5. Teori hukum adalah formal, teori tentang ara atau jalannya mengatur perubahan-perubahan dalam hukum secara khusus.
  6. Hubungan kedudukan antara tori hukum dengan sistem hukum positif tertentu adalah hubungan antara hukum yang serba mungkin dan hukum yang senyatanya.
Fungsi teori hukum ilah menjelaskan hubungan antara norma-norma dasar dan norma-norma lebih rendah dari hukum, tetapi tidak menentukan apakah norma dasar itu baik atau tidak. Yang disebut belakangan adalah tugas ilmum politik, etiika atau agama.
 Teori konkretisasi hukum menganggap suatu sistem hukum sebagai atau susunan yang piramidal. Stufentheorie diciptakan pertama kali oleh Adolf Merkl (1836-1896), seorang murid dari Rudolf von Jhering, yang kemudian diambil alih oleh Hans Kelsen. Kekuatan berlakunya hukum tertentu tergantung pada norma hukum yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga sampai pada suatu Grundnorm, yang berfungsi sebagai dasar terakhir/tertinggi bagi berlakunya keseluruhan hukum positif yang bersangkutan. Fungsi hukum tersebut bukan dalam arti hukum kodrat, tetapi sebagai suatu Transcendental Logische Voraussetzung, yaitu dalil yang secara transendental menentukan bahwa norma dasar terakhir/tertinggi secara logis harus ada lebih dahulu, yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasan atau pembenaran ilmiah bahwa keseluruhan norma-norma c.q. peraturan-peraturan dalam hukum positif yang bersangkutan itu pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang serasi.
Penulis lain bernama Rudolf Stammler  (1856-1938) merupakan tokoh kebangkitan kembali filsafat c.q. hukum kodrat gaya baru, yaitu hukum kodrat yang senantiasa berubah yang mengajarkan bahwa filsafat hukum adalah ilmu/ajaran tentang hukum yang adil  (die lehre vom richtigen recht). Apabila ilmu hukum meneliti dan mengkaji, secara positif, maka tugas dan fungsi filsafat hukum ialah dengan abstraksi bahan-bahan variabel tersebut, meneliti secara transendental kritis (metode yang berasal dari Kant) bentuk-bentuk kesadaran manusia hingga menerobos sampai pada landasan/dasar transendental logis penghayatan hukum yang berujud hakekat pengertian hukum.
 Hakekat pengertian hukum atau pengertian hukum yang transendental ini mempunyai unsur-unsur: kehendak/karsa, mengikat, berkuasa atas diri dan tidak bisa diganggu (wollen, verbinden, selbstherrlichkeit unverletzbarkeit). Dari hakekat ini lebih lanjut ditarik 8 (delapan) macam kategori hukum, yaitu: subjek hukum, objek hukum, dasar hukum, hubungan hukum, kekuasaan hukum, penundukan hukum, menurut hukum (rechtmatigeheid), dan melawan hukum. Pengertian dasar atau kategori hukum itu berupa metode pikiran formil yang adanya tidak ditentukan oleh atau digantungkan pada isi atau aturan hukum. Asas-asas hukum umum yang menentukan kebaikan isi atuan hukum, tidak termasuk pengertian hukum tetapi tergolong pada cita hukum. Hukum yang adil adalah hukum yang memenuhi syarat atau tertentu “social-ideal”, yakni ujud dari manusia dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kehendak bebas (Gemeinschaft frei wollender Menschen). Cita hukum yang sosial ini berfungsi regulatif terhadap sistem hukum positif, tidak semata-mata pada bentuk hukumnya.
 
Aliran Utilitarianisme
 Aliran ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jikas tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
 Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak menyenangkannya.
 Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial,  jadi merupakan gabungan antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.
 Aliran Sejarah
 Tokoh-tokohnya antara lain Friedrich Carl von Savigny (1778-1861) dan Puchta (1789-1846). Sebagian dari pokok ajarannya ialah bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi pada hakekatnya lahir dan tumbuh dari dan dengan rakyat, berkembang bersama dengan rakyat, namun ia akan mati, manakala rakyat kehilangan kepribadiannya (das recht wirdnicht gemacht, es wachst mit dem volke vort, bilden sich aus mit diesem, und strirbt endlich ab sowie das volk seineen eigentuum lichkeit verliert). Sumber hukum intinya adalah hukum kebiasaan adalah volksgeist jiwa bangsa atau jiwa rakyat.
      Paton memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut:
1.    Jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya.
2.    Tidak selamanya peraturan perundang-undangan timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras.
3.    Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kembali untuk diproses menjadi bentuk hukum.
4.    Dalam banyak kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui oleh penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih Hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari Hukum Perancis.
Tulisan von Savigny sebenarnya merupakan reaksi langsung terhadap Thibaut , di samping itu juga hendak memberi tempat  yang terhormat bagi hukum rakyat Jerman yang asli di negara Jerman sendiri. Von Savigny berkeinginan agar hukum Jerman itu berkembang menjadi hukum nasional Jerman. Tantangan von Savigny terhadap kodifikasi Perancis itu telah menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak memiliki kodifikasi hukum perdata. Pengaruh pandangan von Savigny juga terasa sampai jauh ke luar batas negeri Jerman.
 Sedang Puchta, termasuk penganut aliran sejarah dan sebagai murid von Savigny  berpendapat bahwa hukum dapat berbentuk:
1.    Langsung, berupa adat-istiadat.
2.    Melalui undang-undang.
3.    Melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.
 Namun ketika pembentukan hukum tersebut masih berhubungan erat dengan jiwa bangsa (volksgeist) yang bersangkutan. Lebih lanjut, Puchta membedakan pengertian “bangsa” ke dalam dua jenis, yaitu bangsa dalam pengertian etnis yang disebut “bangsa alam” dan bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara. Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara), sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara. Negera mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang, Puchta mengutamakan pembentukan hukum dalam negara sedemikian rupa, sehingga akhirnya tidak ada tempat lagi bagi sumber-sumber hukum lainnya, yakni praktik hukum dalam adat-istiadat bangsa dan pengolahan ilmiah hukum oleh ahli-ahli hukum. Adat-istadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan oleh negara. Sama halnya dengan pengolahan hukum oleh kaum Yuris, pikiran-pikiran mereka tentang hukum memerlukan pengesahan negara supaya berlaku sebagai hukum. Di lain pihak, yang berkuasa dalam negara tidak membutuhkan dukungan apapun. Ia berhak membentuk undang-undang tanpa bantuan kaum yuris, tanpa menghiraukan apa yang hidup dalam jiwa orang dan dipraktikkan sebagai adat-istiadat.
Dengan adanya pemikiran dan pandangan puchta yang demikian ini, menurut Theo Huijbers dikatakan tidak jauh berbeda dengan Teori Absolutisme negara dan Positivisme Yuridis. Buku Puchta yang terkenal berjudul Gewohnheitsrecht. (Lihat Bagian 2).
 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

     

 

 

            

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 
 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

     

 

 

            

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

                                                                               

 

 

 

  

 

 
 

 
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

     

 

 

            

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

                                                                               

 

 

 

  

 
 

 

                                                                               

 

 

 

  

Sunday, January 27, 2013

Sejarah Filsafat Hukum


SEJARAH FILSAFAT HUKUM
 
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Yunani (Kuno)
Berbicara sejarah tidak akan terlepas dari dimensi waktu, karena waktu yang sangat menentukan terjadinya sejarah, yaitu dimensi waktu yang terdiri waktu pada masa lampau, sekarang, dan masa depan. Hal ini berlaku juga pada saat membicarakan sejarah perkembangan filsafat hukum yang diawali dengan zaman Yunani (Kuno).
 
Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah filsaft hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini, antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini. Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander berpendapat bahwa keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan (dike). Sementara itu, Herakleitos berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari logos. Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap.
 
Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang menjadi ukuran untuk segala-galanya.
 
Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari hukum itu memiliki kebenaran objektif  atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.
 
Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal. Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.   
 
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul, kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Misalnya, hukum alam menuntut sumbangan warga negara bagi kepentingan umum, jenis dan besarnya sumbangan ditentukan oleh hukum positif, yakni undang-undang negara, yang baru berlaku setelah ditetapkan dan diresmikan isinya oleh instansi yang berwibawa.
 
Pada zaman Yunani (Kuno) muncul masa Hellenisme, yaitu puncak keemasan kebudayaan Yunani yang dipelopori oleh aliran Epikurisme (berasal dari nama filsuf Epikuros) dan Stoisisme (berasal dari kata Stoa yang dicetuskan oleh Zeno). Kedua aliran ini menekankan filsafatnya pada bidang etika. Meskipun demikian, dari Epikurisme muncul konsep penting tentang undang-undang (hukum posistif) yang mengakomodasi kepentingan individu sebagai perjanjian antar individu, sehingga pemikiran dari penganut Epikurisme merupakan embrio dari teori perjanjian masyarakat. Stoisisme mencoba meletakkan prinsip-prinsip kesederajatan manusia dalam hukum. Ide dasar aliran ini terletak pada kesatuan yang teratur (kosmos) yang bersumber dari jiwa dunia (logos), yakni Budi Ilahi yang menjiwai segalanya. Dengan kata lain, telah timbul keterikatan antara manusia dengan logos, yang selanjutnya diartikan sebagai rasio. Oleh karena itu, menurut Stoisisme, tujuan hukum adalah keadilan menurut logos, bukan menurut hukum positif. Sehingga ketaatan menurut hukum positif baru dapat dilakukan sepanjang hukum positif sesuai dengan hukum alam.
 
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Pertengahan 
Perkembangan sejarah filsafat hukum pada zaman pertengahan dimulai sejak runtuhnya kekuasaan kekaisaran Romawi pada abad ke-5 SM (masa gelap/the dark ages) yang ditandai dengan kejayaan agama Kristen di Eropa (masa scholastic), dan mulai berkembangnya agama Islam. Sebelum ada zaman pertengahan terdapat suatu fase yang disebut dengan Masa Gelap, terjadi pada saat Kekaisaran Romawi runtuh dihancurkan oleh suku-suku Germania, sehingga tidak ada satupun peninggalan peradaban bangsa Romawi yang tersisa, sehingga masa ini dikenal sebagai masa gelap.
 
Tokoh-tokoh filsafat hukum yang hidup di zaman ini, antara lain Augustinus (354-430) dan Thomas Aquino (1225-1275). Dalam perkembangannya, pemikiran para filsuf di zaman pertengahan tidak terlepas dari pengaruh filsuf pada zaman Yunani, misalnya saja Augustinus mendapat pengaruh dari Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi. Tentu saja pemikiran Augustinus bersumber dari Tuhan atau Budi Allah yang diketemukan dalam jiwa manusia. Sedangkan Thomas Aquinas sebagai seorang rohaniwan Katolik telah meletakkan perbedaan secara tegas antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu Tuhan (Lex Aeterna), hukum yang dijangkau akal budi manusia (Lex Divina), hukum yang berdasarkan akal budi manusia (Lex Naturalis), dan hukum positif (Lex Positivis). Pembagian hukum atas keempat jenis hukum yang dilakukan oleh Thomas Aquinas nantinya akan dibahas dalam pelbagai aliran filsafat hukum pada bagian lain dari tulisan ini.
 
Sejarah Filsafat Hukum Pada Zaman Modern
Pada zaman ini para filsuf telah meletakkan dasar bagi hukum yang mandiri, yang terlepas sama sekali dari hukum abadi yang berasal dari Tuhan. Tokoh-tokoh yang berperan sangat penting pada abad pertengahan ini, antara lain: William Occam (1290-1350), Rene Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Francis Bacon (1561-1626), Samuel Pufendorf (1632-1694), Thomasius (1655-1728), Wolf (1679-1754), Montesquieu (1689-1755), J.J. Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804). Zaman modern ini juga disebut Renaissance. Terlepasnya alam pikiran manusia dari ikatan-ikatan keagamaan menandai lahirnya zaman ini. Tentu saja zaman Renaissance membawa dampak perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang sangat pesat, berdirinya negara-negara baru, ditemukannya dunia-dunia baru, lahirnya segala macam ilmu baru, dan sebagainya. Demikian juga terhadap dunia pemikiran hukum, rasio manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai penjelmaan dari rasio Tuhan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari ketertiban ketuhanan. Rasio manusia ini dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini jelas dikumandangkan oleh para penganut hukum alam yang rasionalistis dan para penganut faham positivisme hukum.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.