KAJIAN TERHADAP
UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH
BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
(Bagian-2)
Perlu diketahui bahwa sebelum
disusunnya UU PTUP, maka wujud pengaturan aktifitas PTUP secara berturut-turut
adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Thn 1975, Keputusan Presiden No.55
Thn 1993, Peraturan Presiden No.36 Thn 2005 serta terakhir Peraturan Presiden
No.65 Thn 2006 sebagai realisasi dari amanat: pertama Pasal 6, 27, 34,40
UUPA.Kedua sebagai amanat dari UU No.39 Thn 1999 tentang HAM yang mengamanatkan
bahwa sebagai konsekuensi sumber daya tanah merupakan salah satu bagian dari
HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya (Sumber Daya tanah) harus diatur
dengan undang-undang. Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal
dalam Undang- undang No.5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34
serta 40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan
hukum pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah. Disamping itu berdasar
Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan hak atas tanah. Perbuatan
pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subyek hak atas tanah mendapatkan
permintaan dari negara yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah yang
menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum
(public interests) berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah
berfungsi sosial.
Sedangkan
penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak atas tanah selain hak milik
diserahkan oleh subyek haknya kepada negara (pemerintah) sebelum jangka
waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.
Implikasi hukum terkait dengan
perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan hak atas tanah sama
yakni hapusnya hak atas tanah dari subyek hukum yang bersangkutan dan status
hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur
Pasal 2 jo Pasal 4 Undang-undang No.5 tahun 1960. Disamping itu hal terpenting
dari aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 Ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:” setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”
Dasar filosofi yang harus menjadi
basis UU PTUP sebagaimana pula halnya dengan UUPA adalah Pancasila khususnya
sila kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah termaktub pada konsiderans
UU PTUP huruf a dan b. Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut
harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya
diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta
bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. Sila–sila Pancasila sebagaimana
dinyatakan oleh Notonagoro (1984): “segala peraturan hukum yang ada dalam
negara Indonesia mulai saat berdirinya merupakan suatu tertib hukum, ialah
tertib hukum Indonesia”.
Dalam setiap tertib hukum diadakan
pembagian susunan yang hierarkhis. Setiap peraturan perundangan yang
diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari nilai- nilai yang terkandung
dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila
pertama dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya”
Pada setiap tertib hukum esensi
utamanya adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam
tata urutan berjenjang sebagaimana dirumuskan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky, sebagai sebuah susunan yang sistematik, logis, rasional dalam
kerangka suatu tertib hukum. Jika secara seksama ditelaah, pada bagian
konsiderans termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai
berikut:
- bahwa
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan;
- bahwa
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum,
diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip
kemanusiaan, demokratis, dan adil;
- bahwa
peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk
pelaksanaan pembangunan;
- bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dapat dikatakan bahwa secara
filosofis, maka undang-undang No.2 Tahun 2012 seolah hendak menjalankan amanat
yang terkandung pada sila-sila Pancasila berpedoman pada prinsip kemanuasiaan,
demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi neo-kapitalis tak
diragukan lagi. Salah satu bukti yang nyata adalah masuknya kepentingan swasta
dalam undang-undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.
Penamaan suatu produk hukum yang
dalam ini adalah UU harus jelas sekalipun didefinisikan pada Pasal 1,
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun agar
tidak menimbulkan interpretasi yang beragam harus dituliskan secara jelas
kegiatan pembangunan yang dimaksud meliputi aktifitas apa, bagaimana hal
demikian dilaksanakan.Nampaknya UU No.2 Thn 2012 tentang PTUP dapat dikatakan
identik dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1976 yang mengedepankan pada pengkaburan makna
kepentingan umum, sebagai kepentingan rakyat banyak. Sementara itu, UU PTUP
malah tidak memberikan definisi sama sekali apa yang dinamakan kepentingan
umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu munculnya kasus-kasus pengadaan tanah.
Memasukkan kepentingan swasta sebagai kepentingan umum, merupakan kemunduran
dari aspek hukum karena jelas akan menjadi cara melawan hukum pengambilan tanah
oleh swasta yang berlindung di balik kepentingan umum. Padahal telah nyata
bahwa kepentingan swasta tidak lain adalah kepentingan yang berorientasi pada
keuntungan semata.
Asas hukum menurut Nieuwenhuis
sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup
kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat cita-cita yang hendak
diraihnya, suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis
kepada hukum pada umumnya merupakan suatu persangkaan”.
Merujuk pada pandangan Maria SW
Sumardjono sudah waktunya dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu
pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
- pengambilalihan
tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak
seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik dan hilangnya harta benda
untuk sementara waktu atau selama-lamanya;
- Ganti
kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: (a).hilangnya hak atas
tanah, bangunan, tanaman, (2.). hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan
lainnya, (3). bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan
alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, (4). bantuan
pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum
terjadinya pengambilalihan;
- mereka
yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan dalam
pemberian ganti kerugian harus diperluas.
- untuk
memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan
besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial
ekonomi;
- perlu
diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan
pengambilalihan dan pemukiman kembali;
- cara
musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan
- perlu
adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang
timbul dalam proses pengambilalihan tanah
Sebagai
suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan Sumardjono di muka, maka dalam
kontek sistem hukum dicantumkan azas/ prinsip agar bilamana di dalam sistem
hukum terjadi sengketa, maka azas bertugas untuk menyelesaikan.
Berkenaan
dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam azas
hukum pengadaan tanah yakni:
- Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;
- Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa;
- Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan;
- Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa;
- Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak;
- Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi.
Ditinjau
dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945, maka
perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan untuk kepentingan
pemerintah atas nama negara dengan motif untuk kepentingan umum apalagi untuk
kepentingan swasta harus menghormati hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan
hak perorangan atau individual merupakan sebuah keniscayaan yang wajib
diberikan oleh negara khususnya kepada warga negara yang aset atau miliknya
hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah merupakan persoalan esensial
sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia khususnya setelah diundangkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak Atas
Tanah tidak saja memiliki karakter hukum sebagai sebuah produk hukum yang cacat
dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar
1945 maupun Undang-undang No.5 Tahun 1960. Disamping itu merujuk pada pandangan
Jimly Asshidiqie yang dinyatakannya:
Perbincangan perihal nilai dan harga
benda yang terkena atau menjadi obyek kegiatan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan acapkali menjadi salah satu akar masalah sengketa
pertanahan, antara subyek hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah
untuk kegiatan pembangunan. Menurut Hidayati dan Haryanto nilai adalah makna/
arti (worth) suatu barang/ benda, sehingga benda mempunyai nilai bila benda
memiliki arti/makna bagi seseorang yang sering dipertautkan dengan nilai pasar.
Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang dibayar dalam sebuah transaksi untuk
mendapatkan hak milik suatu benda. Dengan demikian dapat dirumuskan harga =
biaya + faktor kepentingan & pasaran. Nilai dan harga bisa sama dapat pula
berbeda tergantung pada kewajaran dengan ukuran:
1.
Penjual yang berkelayakan dan
mempunyai hak bersedia menjual hartanya;
2.
Pembeliyangmampudanberkelayakanbersediamembeliharta;
3.
Ada waktu yang cukup untuk
tawar-menawar
4.
Ada waktu yang cukup untuk menunjukkan
harta yang dijual kepada pasaran;
5.
Harga yang tidak berubah/ mengalami
fluktuasi dalam jangka waktu tertentu;
6.
Tidak mempertimbangkan penawaran
istimewa.
Nilai dan harga memiliki makna
penting dalam melakukan kegiatan penilaian yakni penganggaran/ estimasi nilai
dari suatu kepentingan atas suatu properti/ harta untuk suatu tujuan tertentu
antara lain untuk menghitung kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah yang harus
mengikuti prinsip betterment yaitu prinsip yang menekankan pada pemberian
kompensasi yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan kepada kedua belah
pihak. Menurut pandangan saya secara ekonomis barangkali demikian, namun dari
perspektif hukum nampaknya implementasi prinsip ini menimbulkan ketidakadilan
ditinjau dari sisi subyek hak atas tanah yang biasanya sebagai pihak yang sedang
tidak diuntungkan.
a.
Pasal-pasal yang sesuai
1.
Pasal 1 angka 2 undang-undang
ini: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10
menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang
berhak dalam proses pengadaan tanah”. Pasal-pasal ini sesuai dengan prinsip-prinsip
pengadaan tanah sebagaimana disebutkan dalam UUPA.
2.
Asas pengadaan tanah
yang diatur Pasal 2 menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan
keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena
asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10
undang-undang ini. Kalimat: “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil”
belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pengadaan tanah sebelumnya.
3.
Pasal 35, apabila
dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang
tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak
yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi
pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini
muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.
4.
Setelah penetapan
lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya
kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk
menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada
peraturan perundang-undangan sebelumnya.
b. Pasal-pasal yang tidak sesuai.
1.
Pasal 5 menegaskan
pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib
ditegaskan pada undang-undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu
bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh
pihak yang berhak.
2.
Selanjutnya bila kita
perhatikan Pasal 41: 1) Ganti Kerugian
diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan
dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan
pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5). 2)
Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
wajib: a. melakukan pelepasan hak; dan b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan
Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga
Pertanahan. 3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan
satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari. 4) Pihak yang Berhak
menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas Kebenaran dan keabsahan bukti
penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan.
3.
Pasal 41 ayat (2) dan
ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus
menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti
yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini
mencerminkan Undang-Undang ini represif. Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan
fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19 ayat 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
sebagai berikut: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2)
Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan
dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak
tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan
surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini
belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di
Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di
kemudian hari masih dapat diganggu gugat.
Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu
dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat diganggu
gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan sertipikat
hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak dapat digugat
di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya wajib
diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat itu
tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
4.
Pasal Pasal 43
Undang-Undang ini menyatakan: Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian
dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah
dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus
dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara.
Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari
pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan
keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya
undang-undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.
Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang,
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 undang-undang ini
sendiri
Kelemahan substansial pada substansi
undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah jelas, alih-alih
mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan dan
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum justru
kepentingan profit justru bersembunyi tegasnya berlindung, di balik kepentingan
umum. Dengan demikian nyata sudah diperlukan adanya sikap kritik dan penolakan
atas kehadiran undang-undang yang bakal menciptakan ketidakadilan dan resistensi
ini. Inkonsistensi undang-undang pengadaan tanah sesungguhnya merupakan langkah
mundur pengaturan karena kembali pada pengaturan pengambilalihan tanah menurut
Peraturan Menteri dalam Negeri pada era Orde Baru. Disamping itu, diprediksi
implikasi hukum dari pengundangan undang-undang akan semakin menumbuhkembangkan
kasus agraria.
Terhadap kalimat Pasal
41 ayat (3) ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak
dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang
menerbitkan sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat
itu tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang
tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin
sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
H. Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Prespektif Otonomi Daerah, Bandung, 2004.
Jimly Asshiddiqie.,2009., Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,Rajawali Pers, Jakarta.
Maria SW Sumardjono.,2005., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Buku Kompas, Jakarta.
Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,.2004.,Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo.,1996., Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta.
Ulli Parulian Sihombing dkk (Perumus).,2009., Mengajarkan Hukum Yang Berkeadilan, Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial, Cetakan Pertama, ILRC & OSI, Jakarta.
Wahyu Hidayati dan Budi Harjanto.,2003., Konsep Dasar Penilaian Properti, Edisi Pertama,Cetakan Pertama, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Y. Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup,Kanisius, Yogyakarta, 2004.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
ReplyDeleteDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....