Monday, March 4, 2013

Kajian UU Pertanahan (2)


KAJIAN TERHADAP
 UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2012  TENTANG PENGADAAN TANAH
BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
(Bagian-2)

 Aspek Struktur UU PTUP
Perlu diketahui bahwa sebelum disusunnya UU PTUP, maka wujud pengaturan aktifitas PTUP secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Thn 1975, Keputusan Presiden No.55 Thn 1993, Peraturan Presiden No.36 Thn 2005 serta terakhir Peraturan Presiden No.65 Thn 2006 sebagai realisasi dari amanat: pertama Pasal 6, 27, 34,40 UUPA.Kedua sebagai amanat dari UU No.39 Thn 1999 tentang HAM yang mengamanatkan bahwa sebagai konsekuensi sumber daya tanah merupakan salah satu bagian dari HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya (Sumber Daya tanah) harus diatur dengan undang-undang. Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal dalam Undang- undang No.5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta 40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah. Disamping itu berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan hak atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subyek hak atas tanah mendapatkan permintaan dari negara yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah yang menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (public interests) berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.

Sedangkan penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak atas tanah selain hak milik diserahkan oleh subyek haknya kepada negara (pemerintah) sebelum jangka waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.

Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari subyek hukum yang bersangkutan dan status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo Pasal 4 Undang-undang No.5 tahun 1960. Disamping itu hal terpenting dari aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:” setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”


 Aspek Filosofis
Dasar filosofi yang harus menjadi basis UU PTUP sebagaimana pula halnya dengan UUPA adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah termaktub pada konsiderans UU PTUP huruf a dan b. Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. Sila–sila Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984): “segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat berdirinya merupakan suatu tertib hukum, ialah tertib hukum Indonesia”.

Dalam setiap tertib hukum diadakan pembagian susunan yang hierarkhis. Setiap peraturan perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari nilai- nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya”

Pada setiap tertib hukum esensi utamanya adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam tata urutan berjenjang sebagaimana dirumuskan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, sebagai sebuah susunan yang sistematik, logis, rasional dalam kerangka suatu tertib hukum. Jika secara seksama ditelaah, pada bagian konsiderans termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut:

  1. bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan;
  2. bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil;
  3. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dapat dikatakan bahwa secara filosofis, maka undang-undang No.2 Tahun 2012 seolah hendak menjalankan amanat yang terkandung pada sila-sila Pancasila berpedoman pada prinsip kemanuasiaan, demokratis serta keadilan, walaupun pengaruh dari ideologi neo-kapitalis tak diragukan lagi. Salah satu bukti yang nyata adalah masuknya kepentingan swasta dalam undang-undang ini dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.

 
 

 
Penamaan
Penamaan suatu produk hukum yang dalam ini adalah UU harus jelas sekalipun didefinisikan pada Pasal 1, kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun agar tidak menimbulkan interpretasi yang beragam harus dituliskan secara jelas kegiatan pembangunan yang dimaksud meliputi aktifitas apa, bagaimana hal demikian dilaksanakan.Nampaknya UU No.2 Thn 2012 tentang PTUP dapat dikatakan identik dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1976 yang mengedepankan pada pengkaburan makna kepentingan umum, sebagai kepentingan rakyat banyak. Sementara itu, UU PTUP malah tidak memberikan definisi sama sekali apa yang dinamakan kepentingan umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu munculnya kasus-kasus pengadaan tanah. Memasukkan kepentingan swasta sebagai kepentingan umum, merupakan kemunduran dari aspek hukum karena jelas akan menjadi cara melawan hukum pengambilan tanah oleh swasta yang berlindung di balik kepentingan umum. Padahal telah nyata bahwa kepentingan swasta tidak lain adalah kepentingan yang berorientasi pada keuntungan semata.

 Prinsip/Azas
Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada umumnya merupakan suatu persangkaan”.
Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono sudah waktunya dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi HAM (Human Rights) dengan memperhatikan hal-hal berikut:

  1. pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya;
  2. Ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: (a).hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, (2.). hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya, (3). bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, (4). bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan;
  3. mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas.
  4. untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial ekonomi;
  5. perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan pemukiman kembali;
  6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan
  7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah
Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan Sumardjono di muka, maka dalam kontek sistem hukum dicantumkan azas/ prinsip agar bilamana di dalam sistem hukum terjadi sengketa, maka azas bertugas untuk menyelesaikan.

Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni:

  1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;
  2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa;
  3. Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan;
  4. Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa;
  5. Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak;
  6. Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi.
Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945, maka perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah atas nama negara dengan motif untuk kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus menghormati hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara khususnya kepada warga negara yang aset atau miliknya hanya sebidang tanah tersebut. Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak Atas Tanah tidak saja memiliki karakter hukum sebagai sebuah produk hukum yang cacat dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 maupun Undang-undang No.5 Tahun 1960. Disamping itu merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie yang dinyatakannya:

 “hal itu tercermin dalam pengertian negara hukum yang tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam paham negara hukumini diutamakan adalah hukum sebagai suatu kesatuan sistem bernegara. Sistem yang paling tinggi kekuasaannya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan hukum. Hukumlah yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang.Artinya dalam faham kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi yang sebenarnya. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, yang pengaturannya pada tingkat puncak atau tertinggi tercermin dalam konstitusi negara yaitu “the rule of constitution”. Dalam kaitan itu di negara kita, hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak boleh ada hukum dan peraturan perundang- undangan yang bertentangan dengannya”

 Berkiblat pada pandangan Jimly sebagaimana diuraikan di muka, dikaitkan dengan produk hukum peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah sejak diberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 sampai Keputusan Presiden No. 65 Tahun 2006 mengingkari hakikat negara hukum sebagaimana telah disepakati telah termaktub pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 Perdebatan Soal Nilai dan Harga Pengadaan Tanah
Perbincangan perihal nilai dan harga benda yang terkena atau menjadi obyek kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan acapkali menjadi salah satu akar masalah sengketa pertanahan, antara subyek hak atas tanah dengan pihak yang memerlukan tanah untuk kegiatan pembangunan. Menurut Hidayati dan Haryanto nilai adalah makna/ arti (worth) suatu barang/ benda, sehingga benda mempunyai nilai bila benda memiliki arti/makna bagi seseorang yang sering dipertautkan dengan nilai pasar. Sedangkan harga adalah sejumlah uang yang dibayar dalam sebuah transaksi untuk mendapatkan hak milik suatu benda. Dengan demikian dapat dirumuskan harga = biaya + faktor kepentingan & pasaran. Nilai dan harga bisa sama dapat pula berbeda tergantung pada kewajaran dengan ukuran:

1.      Penjual yang berkelayakan dan mempunyai hak bersedia menjual hartanya;

2.      Pembeliyangmampudanberkelayakanbersediamembeliharta;

3.      Ada waktu yang cukup untuk tawar-menawar

4.      Ada waktu yang cukup untuk menunjukkan harta yang dijual kepada pasaran;

5.      Harga yang tidak berubah/ mengalami fluktuasi dalam jangka waktu tertentu;

6.      Tidak mempertimbangkan penawaran istimewa.

Nilai dan harga memiliki makna penting dalam melakukan kegiatan penilaian yakni penganggaran/ estimasi nilai dari suatu kepentingan atas suatu properti/ harta untuk suatu tujuan tertentu antara lain untuk menghitung kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah yang harus mengikuti prinsip betterment yaitu prinsip yang menekankan pada pemberian kompensasi yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan kepada kedua belah pihak. Menurut pandangan saya secara ekonomis barangkali demikian, namun dari perspektif hukum nampaknya implementasi prinsip ini menimbulkan ketidakadilan ditinjau dari sisi subyek hak atas tanah yang biasanya sebagai pihak yang sedang tidak diuntungkan.

 Pembahasan Pasal – Pasal UU PTUP
 Dalam pembahasan ini penulis ingin memberikan komentar  terhadap pasal-pasal yang sesuai dengan ideologi Pancasila dan juga pasal-pasal yang tidak sesuai.

a.       Pasal-pasal yang sesuai

1.    Pasal 1 angka 2 undang-undang ini: “Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”. Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi: “Ganti Kerugian adalah penggantian layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”.  Pasal-pasal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan tanah sebagaimana disebutkan dalam UUPA.

2.    Asas pengadaan tanah yang diatur Pasal 2 menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat: “Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan tanah sebelumnya.

3.    Pasal 35, apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Bunyi pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya. Pasal ini muncul dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil.

4.    Setelah penetapan lokasi pembangunan Pihak yang Berhak hanya dapat mengalihkan hak atas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. Hal ini untuk menghindari “calo” dan spekulan tanah, pembatasan ini belum pernah muncul pada peraturan perundang-undangan sebelumnya.

b.      Pasal-pasal yang tidak sesuai.

1.      Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. kata wajib ditegaskan pada undang-undang ini. Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu bahwa wajib setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang berhak.

2.      Selanjutnya bila kita perhatikan Pasal 41: 1) Ganti Kerugian diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan dalam musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (5). 2) Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian wajib: a. melakukan pelepasan hak; dan b. menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan. 3) Bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari. 4) Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian bertanggung jawab atas Kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau kepemilikan yang diserahkan.

3.      Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) tersebut di atas yang menyatakan bahwa Pihak yang Berhak harus menyerahkan bukti penguasaan atau kepemilikan yang merupakan satu-satunya bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari hal ini mencerminkan Undang-Undang ini represif. Kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “ ini bertentangan dengan fakta hukum yang sedang berlangsung di Indonesia dalam hal ini Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai berikut:  (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Bahwa Pasal 19 ayat (2) huruf c. UUPA menegaskan surat-surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal ini belum sebagai alat pembuktian yang mutlak. Alat bukti kepemilikan tanah di Indonesia yang sudah berupa Sertipikat Hak Atas Tanah saja setiap saat atau di kemudian hari masih dapat diganggu gugat.

Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.

4.      Pasal Pasal 43 Undang-Undang ini menyatakan: Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Hapusnya kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana diatur Pasal 43 di atas, menunjukkan represifnya undang-undang ini yang sengaja ditabrakkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. Pasal 43 ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 undang-undang ini sendiri

 Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian telaah sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, antara lain:
Kelemahan substansial pada substansi undang-undang pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah jelas, alih-alih mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan dan untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum justru kepentingan profit justru bersembunyi tegasnya berlindung, di balik kepentingan umum. Dengan demikian nyata sudah diperlukan adanya sikap kritik dan penolakan atas kehadiran undang-undang yang bakal menciptakan ketidakadilan dan resistensi ini. Inkonsistensi undang-undang pengadaan tanah sesungguhnya merupakan langkah mundur pengaturan karena kembali pada pengaturan pengambilalihan tanah menurut Peraturan Menteri dalam Negeri pada era Orde Baru. Disamping itu, diprediksi implikasi hukum dari pengundangan undang-undang akan semakin menumbuhkembangkan kasus agraria.

 Saran
Terhadap kalimat Pasal 41 ayat (3) ini perlu dilakukan “yudicial review”, dengan menghapus kalimat “tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari “. Pemerintah sendiri yang menerbitkan sertipikat hak atas tanah tidak pernah menjamin bahwa sertipikat itu tidak dapat digugat di kemudian hari, bagaimana mungkin pemilik tanah yang tanahnya wajib diserahkan bagi pembangunan untuk kepentingan umum menjamin sertipikat itu tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari.

 
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
H. Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan dalam Prespektif Otonomi Daerah, Bandung, 2004.
Jimly Asshiddiqie.,2009., Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,Rajawali Pers, Jakarta.
Maria SW Sumardjono.,2005., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Buku Kompas, Jakarta.
Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.
Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,.2004.,Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo.,1996., Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta.
Ulli Parulian Sihombing dkk (Perumus).,2009., Mengajarkan Hukum Yang Berkeadilan, Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial, Cetakan Pertama, ILRC & OSI, Jakarta.
Wahyu Hidayati dan Budi Harjanto.,2003., Konsep Dasar Penilaian Properti, Edisi Pertama,Cetakan Pertama, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Y. Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup,Kanisius, Yogyakarta, 2004.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi  Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Undang-Undang Nomor 78 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi  Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

 

 

 

1 comment:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH

    DARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    ReplyDelete