KAJIAN
TERHADAP
UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH
BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
Bagian-1
Pengantar
Salah satu produk hukum yang hendak
diundangkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Ke II adalah Undang-undang
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan No.2 Tahun 2012 yang selanjutnya disingkat
dengan UU PTUP, menimbulkan pendapat pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sudah
barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai
elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan, argumentasi. Salah satu
di antara pendapat yang menolak saat UU PTUP ini dibahas di DPR-RI adalah Idham
Arsyad yang intinya menyatakan pembahasan UU PTUP ini sebaiknya ditunda sampai
penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma
agraria3. Sebelumnya, harian Kompas juga mewartakan bahwa UU PTUP merupakan
ancaman hak atas tanah karena rawan diselewengkan untuk kepentingan bisnis yang
justru meminggirkan akses publik terhadap hasil pembangunan, sehingga dinilai
tidak berpihak kepada kepentingan rakyat4. Dalam makalah ini penulis menelaah
materi UU PTUP No.2 Tahun 2012 ini dari perspektif disiplin hukum lebih khusus
telaah dari sisi struktur atau format peraturan perundangan menurut Pasal 7
Ayat (1) UU No.12 tahun 2011 dan keterkaitan antara hukum dan keadilan sosial
(social justice). Mengapa nilai keadilan sosial menjadi alasan sebagai
pengarusutamaan karena sejarah bangsa membuktikan terjadinya ketimpangan
struktur sosial yang tidak adil (unjustice). Kedua keadilan sosial adalah: keadilan
yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi, pada kebaikan
individu yang bersikap adil, tetapi sudah brsifat struktural. Artinya,
pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung kepada penciptaan struktur
sosial yang adil. Mengusahakan keadilan sosial berarti harus dilakukan melalui
perjuangan memperbaiki struktur-struktur sosial yang tidak adil tersebut. Dengan demikian setidaknya terdapat
permasalahan atau isu hukum penting yang diketengahkan berkenaan dengan
kehadiran rancangan undang-undang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan sebagaimana ditetapkan sebagai topik tulisan ini mempersoalkan
mengenai sinkronisasi dan harmonisasi rancangan undang-undang pengadaan tanah
dengan peraturan perundangan yang terkait yakni Undang-undang No.5 Tahun 1960,
Undang-undang No.20 Tahun 1961 berdasarkan kajian normatif menurut
Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, makalah
ini akan berfokus pada hal-hal berikut:- Apa
kelemahan pada substansi UU No.2 Tahun 2012 jika dikaji sinkronisasi
dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Apakah
UU ini sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria?
- Apakah
ada diantara pasal-pasal UU ini perlu dilakukan peninjuan kembali?
Peranan
Pemerintah Atas Tanah
Secara teoretis
dan praktis, terdapat perbedaan antara pemerintahan dan pemerintah.
Pemerintahan adalah segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dan kepentingan negara. Dengan kata
lain, pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas
pemerintah, sedangkan pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan
pemerintahan.
Pemerintahan
sebagai sebagai alat kelengkapan negara dapat diartikan secara luas (in the
broad sense) dan dalam arti sempit (in the narrow sense).
Pemerintah dalam arti luas itu mencakup semua alat kelengkapan negara, yang
pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif atau alat kelengkapan negara lain yang bertindak untuk dan atas nama
negara, sedangkan dalam pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan
eksekutif.
Dalam rangka
pemamfaatan tanah, Salah satu prinsip dasar yang diletakkan oleh pemerintah
adalah untuk sebesar mungkin kemakmuran rakyat, yaitu dengan cara meletakkan
kepentingan nasional diatas kepentingan individu sekalipun ini tidak berarti
kepentingan individu atau golongan tertentu dapat dikorbankan begitu saja untuk
kepentingan umum. Hal ini terlihat secara tegas dalam berbagai ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA), yaitu:
1. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria, menunjukkan bahwa
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam pemakaian sesuatu hak atas tanah harus memperhatikan kepentingan
masyarakat seperti juga dalam bunyi Pasal 33 UUD 1945, yaitu Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Walaupun Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 tidak mencantumkan dengan tegas kata-kata fungsi sosial,
namun harus di tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik primair diartikan hak milik itu tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Dengan
demikian
pengertian fungsi sosial dari pada tanah adalah jalan komprorni atau hak mutlak dari tanah seperti tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Pokok
Agraria. Bahwa keperluan tanah tidak saja diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi,
kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga
bemanfaat, baik untuk pribadi maupun bemanfaat untuk masyarakat.
Dengan demikian dapat disimpulkan hak atas tanah dalarn Pasal 6
Undang-Undang Pokok Agraria berarti bukan saja hak milik tetapi sernua hak atas
tanah dalam arti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai
mempunyai fungsi sosial, dengan ini berati semua hak atas tanah dapat mengisi
kepentingan nasional dari rakyat untuk kemakmuran rakyat.
2. Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria, memberikan
batasan terhadap berlakunya hukum adat dengan kepentingan nasional dan negara
yang berdasarkan atas persatuan bangsa.
Dari redaksi Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria pengertian hukum adat
mempunyai arti yang tersendiri, dimana terdapat pembatasan terhadap hukum adat
tersebut. Pembatasan tersebut adalah:
- Hukum adat tidak boleh
bertentangan dengan sosialisme Indonesia.
- Hukum adat tidak boleh
bertentangan dengan negara dan kepentingan nasional yang berdasarkan
persatuan bangsa.
- Hukum adat tidak boleh
bertentangan dengan kesatuan (perUndang-Undangan lainnya).
- Hukum adat harus mengindahkan
unsur-unsur yang berdasarkan pada agama.
Sedemikian ketatnya pembatasan terhadap hukum adat walaupun di dalam Pasal
3 Undang-Undang Pokok Agraria membuat suatu pengakuan yang tegas terhadap hak
ulayat dan hak-hak yang serupa yang tunduk pada hukum adat. Namun demikian
pengakuan tersebut bila ditinjau dari segi yuridis fomal adalah merupakan suatu
kemajuan tentang kedudukan hak ulayat dalam Undang-Undang Pokok Agraria, jadi
dengan adanya pengakuan terhadap hak ulayat secara fomal ini akan dapat mengisi
pembangunan nasional disatu pihak dan kepentingan umum secara bersama dilain
pihak. Dengan demikian pemecahan pemasalahan hak ulayat untuk turut serta dalam
pembangunan secara serius dan menyeluruh dapat terlaksana dalam dimensi yuridis
dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi dan kultural agar
supaya hal yang demikian tidak akan berkembang menjadi suatu keresahan yang
dapat menggangu stabilitas masyarakat.
3. Pasal 18
Undang-Undang Pokok Agraria.
Pasal ini mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Pasal ini berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, temasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak
atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-Undang.”
Jika kita amati bunyi pasal ini, maka memungkinkan negara untuk mencabut
hak atas tanah untuk kepentingan sosial. Ketentuan pencabutan hak ini merupakan
ketentuan yang memungkinkan negara untuk melaksanakan politik dan strategi
pertahanan keamanan. Dalam pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum
sebagaimana yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya, maka
pencabutan hak dimaksud hanya memungkinkan bilamana ada suatu kepentingan umum
yang benar-benar menghendakinya. Kepentingan ini misalnya untuk pembuatan jalan
raya, Pelabuhan, bangunan untuk industri pertambangan, perumahan dan kesehatan
masyarakat serta lainnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional.
Perolehan Hak
Atas Tanah Oleh Pemerintah
Untuk
memperoleh tanah yang akan digunakan untuk kepentingan umum, pemerintah dapat
melakukan 3 (tiga) cara, yaitu Pencabutan hak, Pembebasan hak
dan Pelepasan hak.
Untuk lebih jelas mengenai ketiga cara
perolehan tanah oleh pemerintah diatas, maka berikut ini akan dijabarkan satu
persatu.
1. Pencabutan hak
Pencabutan hak diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-hak Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya. Pencabutan hak
merupakan wewenang dari Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.dan kewenangan ini
tidak dapat dilimpahkan kepada pejabat dibawahnya, sehingga pencabutan hak
harus melalui Keputusan Presiden (Keppres). Menurut Prof. Muchsan, definisi
dari pencabutan hak atas tanah adalah hapusnya hubungan hukum antara tanah
dengan pemengang haknya yang dilakukan secara paksa demi memenuhi kepentingan
umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak.
Jika melihat definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pencabutan hak
atas tanah memiliki 4 (empat) unsur, yaitu:
a. Harus ada penghapusan hubungan hukum antara tanah
dengan pemegang haknya. Wujud konkrit dari penghapusan hak adalah hilangnya hak
dan kewajiban atas tanah.
b. Penghapusan tersebut dilakukan secara paksa.
Pencabutan adalah perbuatan yang
sepihak, dan dipaksakan tanpa perlu menunggu kesepakatan.
c. Pencabutan dilakukan demi pemenuhan kepentingan umum.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum
disini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Untuk kepentingan umum, temasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka
Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan
benda-benda yang ada diatasnya”.
Menurut Prof. Muchsan, pengertian kepentingan umum dalam pasal ini bersifat
abstrak karena tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum tersebut.
d. Ada ganti kerugian yang layak.
Ganti kerugian dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, berlandaskan pada 3
(tiga) hal, yaitu:
1) Ada panitia pencabutan hak atas tanah yang dibentuk
oleh eksekutif.
2) Ganti rugi yang layak meliputi harga tanah dan
benda-benda yang ada diatasnya.
3) Harus ada pemukiman pengganti (Pemukti).
Untuk dapat melaksanakan pencabutan hak atas tanah, harus melalui berbagai
prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, prosedur
pencabutan tanah terdiri dari:
a. Pihak yang membutuhkan tanah mengajukan pemohonan
kepada Presiden. Perihal pemohonan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Pemintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda
tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan
perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang
bersangkutan.”
Sedangkan mengenai syarat-syarat pemohonan, diatur dalam Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Pemintaan tersebut ayat (1) pasal ini oleh yang berkepentingan disertai
dengan: a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan
umum harus dilakukan pencabutan hak itu; b. keterangan tentang nama yang berhak
(jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut
haknya serta benda-benda yang bersangkutan; c. rencana penampungan orang-orang
yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap
tanah atau menempati rumah yang bersangkutan“.
b. Presiden memerintahkan kepada Kepala Daerah untuk
membentuk Panitia Pencabutan Hak. Sususnan panitia seluruhnya eksekutif yang
terdiri dari Kepala Daerah dan Wakilnya, Kantor Pertanahan, Kantor Pendaftaran
Tanah dan Kepala Desa.
Adapun fungsi dari Panitia Pencabutan Hak adalah sebagi berikut:
a. Menetapkan pencabutan hak.
b. Menetapkan jumlah ganti kerugian, baik yang berbentuk
uang maupun yang berbentuk tanah.
c. Menampung keberatan yang timbul dari pencabutan hak
atas tanah.
Mengenai keberatan atas pencabutan hak atas tanah dapat mengajukan Gugatan
ke Pengadilan Tinggi untuk pertama dan terakhir kali. Gugatan tersebut bersifat
Perdata karena perbuatannya merupakan Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan
Pasal 1365 Burgelijk Wetboek (BW). Lebih jauh mengenai gugatan terhadap
keberatan yang timbul dari pencabutan hak atas tanah diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973.
Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya, menurut Prof. Muchsan.
- Fomil:
Secara fomil Undang-Undang ini sudah bagus, karena telah memenuhi
unsur-unsur berikut:
1) Disusun dalam bentuk Undang-Undang, yang artinya dalam
hal ini ada proses demokrasi dalam membuat peraturan tersebut.
2) Kewenangan mencabut ada ditangan Presiden sebagai
Pejabat Tata Usaha Negara tertinggi, artinya obyektifitas dari Undang-Undang
tersebut dapat terjaga.
3) Dalam rangka pemberian ganti rugi, selain tanah dan
benda-benda yang ada diatasnya masih ada pemukiman pengganti (Pemukti).
- Materil:
Secara materil Undang-Undang ini belum dianggap baik untuk dapat melindungi
kepentingan pemegang hak atas tanah, alasannya adalah:
1) Didalam kepanitiaan pencabutan hak atas tanah, rakyat
atau pemegang hak atas tanah tidak terwakili.
2) Semua ganti rugi atas pola ukur pemerintah.
3) Pengertian kepentingan umum dirumuskan secara abstrak.
2. Pembebasan Hak
Mengenai pembebasan hak diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 1975. Menurut Prof. Muchsan, definisi dari pembebasan tanah adalah
hapusnya hubungan hukum antara tanah dengan pemegang haknya yang dilakukan
secara musyawarah mufakat, demi pemenuhan kepentingan umum dengan pemberian
ganti rugi yang layak. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan pembebasan hak harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a. Ada suatu tindakan yang menghapus hubungan hukum
antara tanah dengan pemiliknya;
b. Ada musyawarah dan mufakat dalam pengambilan
keputusan;
Artinya perbuatan pembebasan tanah tidak boleh dipaksakan.
c. Harus ada kepentingan umum;
d. Harus ada ganti rugi yang layak.
Yang diganti hanya harga tanah saja, benda diatasnya dan pemukiman
pengganti (Pemukti) tidak ada.
Untuk dapat melaksanakan pembebasan hak atas tanah, maka harus melalui
prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur pembebasan hak atas tanah meliputi:
- Harus ada panitia pembebasan hak.
Struktur organisasi dan kewenangannya sama dengan panitia pencabutan hak.
- Panitia pembebas hak melakukan
musyawarah dengan pemilik tanah.
- Apabila mufakat gagal, kewenangan
terakhir ada pada Gubernur. Dalam hal ini Gubernur dapat melaksanakan prosedur
pencabutan hak atas tanah.
Analisis terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 secara
fomil dan meteril merugikan, karena:
- Bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah Dan Benda-Benda Yang
Ada Diatasnya;
- Yang memerlukan tanah adalah
eksekutif, tetapi peraturan yang mengatur berbentuk Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Pemendagri), sehingga rakyat tidak terlindungi;
- Dari segi meteri peraturan bersifat
kontradiktif;
- Ganti rugi mengambang;
- Upaya hukum sama sekali tidak
diberikan, sehingga tidak ada perlindungan hukum bagi masyarakat.
3. Pelepasan Hak
Mengenai pelepasan hak atas tanah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55
Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Dalam Keppres ini yang dimaksud dengan Pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti
kerugian atas dasar musyawarah. Kepentingan umum dalam Keppres ini dirumuskan
sebagai kepentingan dari seluruh lapisan masyarakat.
Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata
hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum. Cara memperoleh tanah yang diatur dalam Keppres ini
juga bemacam-macam, yaitu dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain
yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan
dilaksanakan bedasarkan prinsip penghomatan terhadap hak atas tanah.
Pada Keppres ini, dijelaskan mengenai pembatasan tentang pembangunan apa
saja yang dapat menggunakan prosedur ini, diantaranya untuk:
a. Jalan umum, saluran pembuangan air;
b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya
temasuk saluran irigasi;
c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d. Pelabuhan atau bandar udara atau teminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolahan;
g. Pasar Umum atau Pasar Inpres;
h. Fasilitas pemakaman umum
i. Fasilitas pemakaman umum Fasilitas keselamatan umum
seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain
bencana;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olah raga;
l. Stasion penyiaran radio, televisi beserta sarana
pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah;
n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Mengenai panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dibentuk oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan dibentuk juga di setiap Kabupaten dan
Kotamadya Daerah tingkat II. Susunan dari panitia pengadaan tanah untuk
kepentingan umum serta wewenangnya tersebut diatur dalam Pasal 7 dan 8 Keppres
ini.
Musyawarah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, dilaksanakan langsung antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
dan instansi Pemerintah yang memerlukan, yang dipimpin langsung oleh Ketua
Panitia Pengadaan Tanah.
Perihal ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, diberikan untuk:
a. hak atas tanah;
b. bangunan;
c. tanaman;
d. benda-benda lain, yang berkaitan dengan tanah.
Adapun bentuk ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah, dapat berupa:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. pemukiman kembali;
d. gabungan dari dua atau lebih untuk ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Bagi penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat
diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang
bemanfaat bagi masyarakat setempat. Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian
ditetapkan atas dasar diatur dalam Pasal 15 Keppres ini, yaitu:
a. harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau
sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang
terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
Lihat Bagian-2
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
ReplyDeleteDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....