Wednesday, February 13, 2013

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (1)

STATEGI   NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA
DI BIDANG PERTANIAN, KEHUTANAN, LAHAN GAMBUT,
ENERGI DAN TRANSPORTASI, INDUSTRI DAN PENGELOLAAN LIMBAH
(Bagian-1)

 Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau besar  dan kecil, Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang; di satu sisi hal ini merupakan asset nasional tetapi di sisi lainnya, khususnya dalam mengantisipasi perubahan iklim hal ini juga dapat menjadi beban. Selain itu, karena letak geografis dan kondisi geologisnya, Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bencana alam. Mata pencarian penduduk yang sebagian besar masih menggantungkan pada pengelolaan sumber daya alam khususnya dari sektor pertanian menambah tingkat resiko dari ancaman dampak perubahan iklim. Memperhatikan hal-hal tersebut diatas, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim, sehingga sangat wajar jika Indonesia berada di garis depan dalam upaya-upaya internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Selain sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Karena itu Indonesia perlu mengoptimalkan posisi strategis tersebut dalam berbagai forum di tingkat internasional. Di satu sisi , Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu dari sepuluh penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, dan dengan demikian memiliki peranan yang penting dalam upaya mitigasi gas rumah kaca secara global. Di sisi lain, kerawanan terhadap dampak perubahan iklim yang dimiliki Indonesia menjadikan aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu prioritas nasional yang utama. Sadar akan kedua aspek dari tantangan perubahan iklim, Indonesia menyadari bahwa mitigasi dan adaptasi harus dijalankan secara simultan oleh semua negara. Untuk itu, Indonesia memposisikan diri untuk bekerja sama baik secara bilateral maupun multilateral dalam berbagai upaya internasional menghadapi perubahan iklim. Indonesia juga menyadari bahwa penanganan perubahan iklim merupakan bagian tak terpisahkan dari tantangan pembangunan nasional. Perencanaan atas berbagai aspek perubahan iklim seharusnya dijalankan bersamaan dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional, sehingga perencanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasionaldan daerah (provinsi, kabupaten/kota dan lokal).

Rumusan Masalah
Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan secara kumulatif pada tahun 2020. Untuk itu, perlu diperhitungkan semua sektor dan program utama, biaya aksi berbeda-beda antara tiap sektor, sehingga dibutuhkan pemeringkatan untuk menakar dampak ekonomi terhadap pencapaian dalam hal reduksi emisi gas rumah kaca; jumlah pengurangan emisi dapat meningkat jika skenario yang berbeda digunakan. Untuk itu, diperlukan untuk semua sektor, penyusunan sebuah inventarisasi gas rumah kaca dan sistem monitoring merupakan sebuah prasyarat. Dalam rangka mengurangi emisi CO2 secara signifikan ini, relative terhadap skenario business-as-usual, sangat esensial untuk memperkuat kapasitas kelembagaan sektoral dan sumber daya manusia yang ada di Indonesia.
Dalam makalah ini, pembahasan akan fokus berkaitan dengan kebijakan nasional yang menjadi prioritas dalam rangka penurunan emisi gas rumah kaca, antara lain:

1.    Bagaimana kerangka kebijakan nasional penurunan emisi gas rumah kaca.
2.    Bagaimana Strategi nasional penurunan emisi gas rumah kaca di bidang Pertanian, kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi, industri dan pengelolaan limbah ?

 Kerangka Kebijakan
Perubahan iklim akan menghasilkan tantangan yang besar bagi pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) untuk mencapai tujuan nasional, target sektoral, tolok ukur serta prioritas aksi dengan mempertimbangkan masalah mitigasi perubahan iklim bagi sektor-sektor ekonomi yang terkena dampaknya. Lebih lanjut, RAN GRK diharapkan juga berperan sebagai panduan kebijakan terperinci untuk implementasi strategi mitigasi perubahan iklim nasional melalui penyusunan rencana kerja tahunan pemerintah pada periode 2010 – 2020 dan secara khusus untuk mencapai angka pengurangan emisi nasional sebesar 26 % dan 41 % untuk penurunan emisi GRK.
RAN-GRK disusun berdasarkan program dan kegiatan dari Kementerian/Lembaga dalam RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025 yang kemudian dibahas antar Kementerian/Lembaga. Keseluruhan rencana aksi tersebut diupayakan untuk penurunan emisi GRK nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dari total emisi bidang-bidang prioritas yang dilakukan selama ini (BAU). Program/ kegiatan yang diprioritaskan adalah yang pelaksanaannya memakai dana sendiri (Unilateral NAMAs) baik dari sumber APBN maupun APBD (termasuk pinjaman), swasta dan masyarakat, berdasarkan beberapa kriteria umum sebagai berikut:
  1. Sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
  2.  Efektifitas penggunaan biaya dengan prinsip biaya termurah penurunan emisi GRK secara terintegrasi;
  3. Kemudahan dalam implementasi dengan mempertimbangan aspek politik, sosial dan budaya;
  4. Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional dan daerah dimana kegiatan tersebut dilaksanakan.
  5. Berdasarkan pada asas yang saling menguntungkan dengan memprioritaskan program pembangunan/kegiatan yang memberikan kontribusi pada penurunan emisi GRK (Co-Benefit)
Untuk memastikan keterlibatan dan rasa kepemilikan RAN GRK oleh tiap Kementerian dan Lembaga pemerintahan, penyusunan RAN GRK ini disusun secara partisipatoris, dengan melibatkan masing-masing Kementerian dan lembaga. Aksi prioritas yang dihasilkan ditampilkan pada RAN GRK merefleksikan visi dan prioritas dari masing – masing Kementerian dan Lembaga negara. Selanjutnya Bappenas melakukan proses analisa dan pengembangan kebijakan untuk diintegerasikan di dalam perencanaan pembangunan nasional. Penyusunan prioritas mitigasi gas rumah kaca mengacu pada data yang disepakati dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009, dimana data tersebut bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk itu, data dan informasi tersebut perlu ditelaah kembali dengan data-data terbaru dengan menggunakan metodologi yang diterima secara internasional namun disesuaikan dengan kebutuhan nasional terkini dan perkembangan negosiasi di UNFCCC.
Ada dua skenario reduksi emisi yang dikembangkan untuk tiap sektor (kehutanan dan lahan gambut, pertanian, industri, energi dan transportasi, serta limbah) menjadi dasar perhitungan penurunan emisi GRK. Untuk memastikan perbandingan dan konsistensi, metodologi yang terstandarisasi digunakan untuk mengevaluasi dampak dari rancangan upaya mitigasi di semua sektor prioritas. Metodologi tersebut mencakup elemen berikut:

  1. Tingkat emisi GRK Nasional tahun 2020 dan distribusi per sektor berdasarkan data dari KLH yang disepakati dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009.
  2. Ragam skenario telah dikembangkan untuk dapat mencakup periode waktu RAN-GRK selama 10-tahun. Pola pembangunan pada tiap sektor telah diterjemahkan ke dalam dua lintasan emisi (penurunan 26% dan 41%).
  3. Skenario mitigasi telah dikembangkan, termasuk intervensi kebijakan dan rencana aksi;
  4. Skenario yang dikembangkan dibagi ke dalam dua periode waktu, masing-masing selama 5tahun: 2010 hingga 2014, dan 2015 hingga 2020;
  5. Biaya untuk langkah aksi diperkirakan berdasarkan RPJM 2010-2014 dan Renstra K/L, menghasilkan sebuah sistem untuk mengkalkulasi biaya pengurangan;
  6. Reduksi emisi kumulatif dikalkulasikan dalam GCO2e;
  7. Skenario yang dipilih ialah yang dianggap paling memungkinkan untuk mengurangi emisi (termasuk pilihan aksi dan kebijakan), sementara juga tetap memajukan priorita pembangunan nasional;
  8. Program sektoral dan anggaran telah disusun untuk menggambarkan skenario dan upaya yang dilakukannya.

RAN-GRK disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

  1. RAN- GRK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Strategi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan yang akan disesuaikan dengan perkembangan kebijakan;
  2. RAN-GRK tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan (tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat) dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan;
  3. RAN-GRK merupakan rencana aksi yang terintegrasi antara satu bidang dengan bidang yang lain dengan memperhatikan seluruh aspek pembangunan berkelanjutan seperti daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan penggunaan lahan;
  4. RAN-GRK merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung kepentingan nasional dan upaya-upaya global penurunan emisi GRK;
  5. RAN-GRK berfungsi sebagai sarana koordinasi dalam usaha mengoptimalkan potensi pendanaan internasional untuk kepentingan Indonesia;
  6. RAN GRK merupakan rencana aksi dengan pendekatan baru dalam pembangunan yang lebih memperhatikan upaya-upaya pengurangan emisi GRK.
Ruang Lingkup RAN-GRK  
Berdasarkan kerangka kebijakan, prinsip serta metodologi penetapan target dan kegiatan RAN GRK telah ditetapkan kegiatan-kegiatan inti dan penunjang untuk penurunan emisi gas rumah  kaca dan target per bidang. Tiga bidang utama yang tercakup adalah kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, serta limbah. Target penurunan emisi GRK per bidang dapat dilihat dalam Tabel di bawah ini.
Dalam penetapan target penurunan emisi, perlu diperhatikan bahwa Business As Usual tingkat emisi GRK nasional perlu diperhitungkan dengan lebih akurat, mengingat skenario tingkat emisi Business As Usual untuk beberapa bidang masih perlu dievaluasi. Untuk itu, RAN-GRK perlu untuk terus secara berkala ditinjau dan dilakukan pemantauan dan evaluasi berdasarkan perkembangan terkini yang terjadi di Indonesia dan hasil negosiasi internasional di UNFCCC.
Untuk menjabarkan penambahan 15% target penurunan emisi GRK menjadi 41% (dari 26%) dengan dukungan internasional (Supported NAMAs), dilakukan dengan memilih program/kegiatan tambahan yang pelaksanaannya tidak menggunakan sumber-sumber dana dalam negeri seperti APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) serta tidak untuk penurunan pemisi GRK yang diperdagangkan di pasar karbon. Namun penurunan emisi GRK lebih besar dari 41%, program/kegiatan yang dilaksanakan mencakup skema mekanisme perdagangan karbon (atau credited NAMAs).
Selanjutnya mengingat mekanisme internasional untuk program/kegiatan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enhancement of Carbon Stocks (REDD+) masih dalam proses negosiasi, maka dalam pelaksanaan perlu dicermati sumber pendanaan dari program/kegiatan tersebut untuk menentukan pengelompokan ke dalam skema penurunan emisi GRK dengan dana sendiri (26%/Unilateral NAMAs), dukungan internasional (41%/Supported NAMAs) atau pasar karbon (atau Credited NAMAs). Sebagai gambaran, jika program/kegiatan REDD+ untuk lokasi tertentu didanai oleh APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) maka termasuk dalam komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK 26%, sedangkan program/kegiatan REDD+ yang sama dilokasi yang berbeda serta mendapat bantuan pendanaan internasional, maka termasuk dalam skema target penurunan emisi GRK 41%. Selanjutnya, bila program/kegiatan REDD+ yang tidak terkait dengan target penurunan emisi Indonesia 26% dan 41% dapat diperjualbelikan dalam pasar karbon.

Pengembangan RAN-GRK menuju NAMAs
Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) adalah upaya pengurangan emisi secara sukarela oleh negara berkembang dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sementara kewajiban pengurangan emisi negara industri (Annex I Countries) disebut Nationally Appropriate Mitigation Actions or Commitments disingkat NAMAC. Alinea 1 b ii pada Keputusan 1/CP.13 (‘Bali Action Plan’) mencantumkan bahwa:
Nationally appropriate mitigation actions by developing country Parties in the context of sustainable development, supported and enabled by technology, financing and capacity-building, in a measurable, reportable and verifiable manner

NAMAs dapat didukung oleh pendanaan, alih teknologi dan penguatan kapasitas oleh negara
industri yang sifatnya terukur, dilaporkan dan diverifikasi (Measurable Reportanle and Verifiable/MRV). Pada dasarnya, Konvensi Perubahan Iklim pada COP 15 di Copenhagen mengenali dua jenis NAMAs yang akan dilaporkan 2 tahun sekali melalui Nasional Komunikasi (National Communication), yaitu:
  1. NAMAs (Unilateral atau Mitigation Actions by Developing Countries): upaya mitigasi domestic yang dilakukan dengan sumber daya sendiri. Untuk mendapat pengakuan internasional (berdasarkan Copenhagen Accord), aksi mitigasi ini memerlukan MRV domestik dengan konsultasi internasional dan analisis menggunakan suatu panduan yang tetap menjamin kedaulatan nasional.
  2. NAMAs (seeking international support): adalah kegiatan NAMAs yang hanya akan berjalan bila memperoleh dukungan internasional untuk pendanaan, alih teknologi dan bantuan peningkatan kapasitas. Aksi mitigasi ini memerlukan MRV sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP (UNFCCC). Aksi mitigasi ini akan dicatat bersamaan dengan dukungan teknologi, finansial, dan peningkatan kapasitas yang terkait. Untuk upaya mitigasi di luar kedua mekanisme tersebut di atas, sering dikenal sebagai Credited NAMAs yang dapat diperjual belikan di pasar karbon.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G20 di Pittsburg (September 2009) menyatakan bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% dari BAU pada tahun 2020 dengan usaha sendiri, dan dapat meningkat menjadi 41% dengan dukungan internasional. Komitmen ini, dipertegas kembali pada pidato Presiden di COP-15 Copenhagen (Desember 2009). Untuk mewujudkan komitmen di atas, maka disusun RAN-GRK yang prinsipnya adalah NAMAs oleh Indonesia. RAN-GRK ini yang selanjutnya akan dievaluasi dan dikaji ulang sesuai kebutuhan nasional dan perkembangan global terkini, sehingga memenuhi persyaratan dan pengakuan internasional (UNFCCC).
Sejalan dengan proses tersebut, DNPI sesuai dengan target Copenhagen Accord, telah menyampaikan surat mengenai posisi Indonesia kepada UNFCCC yang memuat target penurunan emisi tanpa memerinci aktifitas per sektornya. Sampai saat ini belum ada kesepakatan secara internasional di UNFCCC mengenai metodologi, definisi, scope, approach dll terkait dengan NAMAs. Akan tetapi, melihat kecenderungan hasil negosiasi maka untuk mendapatkan pengakuan internasionl (UNFCCC) bahwa Indonesia sudah memenuhi janjinya, maka untuk RAN GRK memenuhi standar NAMAs nantinya, Indonesia perlu untuk membuat Nasional Baseline (akumulasi penjumlahan baseline dari setiap sektos), skenario mitigasi dengan perhitungan abetement cost, nasional NAMAs registry dan indikator untuk MRV. Dalam penyusunan nasional baseline nantinya, akan ditetapkan dengan landasan yang komprehensif seperti apa yang dapat menjustifikasi baik target nasional maupun sektoral, serta bagaimana mekanisme dan konsep MRV yang akan digunakan. Karena kerangka waktu RANGRK bersifat jangka menengah, maka perlu disusun tahapan dan trajektori penurunan emisi pertahun, persektor, sampai dengan tahun 2020 sehingga dapat dimonitor dan dievaluasi secara berkala.
Diperlukannya kajian secara komprehensif tentang baseline dari emisi nasional maupun berbagai skenario penurunan dari emisi persektornya. Dari skenario penurunan emisi persektornya tersebut yang akan diperlukan untuk target penyusunan rencana aksi dan kegiatan-kegiatan yang akan dimuat dalam RAN-GRK. Dalam kajian komprehensif tersebut diharapkan memberikan gambaran tentang implikasi target penurunan GRK terhadap pertumbuhan masing-masing sektor maupun nasional serta perhitungan cost benefitnya. Penentuan national emissions reduction projection under BAU scenario hanya menggunakan “trend” adalah tidak appropriate. CO2 yang ada di atmosphere adalah merupakan kontribusi dari activities of the each sectors, dimana langgam-nya (its behaviour) akan tidak selalu sama dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh di sektor ketenagalistrikan: komposisi energi primer pada tahun ini atau tahun 2005 akan jauh berbeda dengan tahun 2015 atau 2020, dan seterusnya. Langgam komposisi energi primer ini tidak sama dari waktu ke waktu, sehingga CO2 yang dikontribusikan akan berubah. Oleh karena itu simulasi jangka panjang perlu dilakukan tentunya dengan objective function yang jelas dan tentunya cost effective (non-intervention scenario). Hal yang sama juga akan terjadi di sektor transportasi, yang akan jauh lebih complex dan dapat bersifat non-linear, misalnya perubahan mode of transportations, atau adanya constraint of transportation infrastructures. Berikut, beberapa definisi Baseline, yang mengandung pengertian yang sama dimana tidak satupun cara projeksi emisi CO2 under BAU scenario (baseline) disarankan dengan menggunakan “trend”, sebagai berikut:
1.    Climate Change: A Glossary of Terms; 4thEdition, April 2007. IPIECA: “Baseline: A projected level of future emissions against which reductions by project activities might be determined, or the emissions that would occur without policy intervention.
2.    UNFCCC RESOURCE GUIDE, For Preparing the National Communications of Non-Annex I Parties.
3.    Module 4, Measures to Mitigate Climate Change: Baseline Scenarios: Aplausible and consistent description of how asystem might evolve in the future in the absence of explicit new GHG mitigation policies.
4.    Baseline scenarios are the counter factual situations against which mitigation policies and measures will be evaluated. A baseline should not beconsidered as a forecast of what will happen in the future, since the future is in herently unpredictable and depends, in part, on planning and policy adoption. Assessment will typically require one or more baseline scenarios as baseline are highly uncertain over the long term and may prove controversial, particularly indeveloping countries.
5.    CLIMATE CHANGE 2007. MITIGATION CLIMATE CHANGE; Working Group III
6.    Contribution to the 4thAssessment Report of the IPCC, Summary for the Policymakers and Technical Summary: Baseline: The reference for measurable quantities from which analternative outcome can be measured, e.g. a nonintervention scenario is used as a reference in the analysis of intervention scenarios.
7.    World Energy Outlook 2006; IEA, 2006: The Reference Scenario does not take intoconsideration possible, potential or even likely future policy actions. Thus, the Reference Scenario projections should not beconsidered forecasts, but rather a baseline vision of how energy markets woul devolve if governments do nothing beyond what they have already committed themselves to influence longterm energy trends. Policy cenario, analyses the impact of arange of policies and measures that countries in allregions are considering adopting or might reasonably be expected to adopt some point over the projection period.
 
(Lanjutkan ke Bagian-2)

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment