STATEGI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA
DI
BIDANG PERTANIAN, KEHUTANAN, LAHAN GAMBUT,
ENERGI
DAN TRANSPORTASI, INDUSTRI DAN PENGELOLAAN LIMBAH
(Bagian-1)
Sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau besar dan kecil, Indonesia mempunyai garis pantai
yang sangat panjang; di satu sisi hal ini merupakan asset nasional tetapi di
sisi lainnya, khususnya dalam mengantisipasi perubahan iklim hal ini juga dapat
menjadi beban. Selain itu, karena letak geografis dan kondisi geologisnya,
Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bencana alam. Mata pencarian penduduk
yang sebagian besar masih menggantungkan pada pengelolaan sumber daya alam
khususnya dari sektor pertanian menambah tingkat resiko dari ancaman dampak
perubahan iklim. Memperhatikan hal-hal tersebut diatas, Indonesia merupakan
salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim,
sehingga sangat wajar jika Indonesia berada di garis depan dalam upaya-upaya
internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Selain sebagai negara yang rentan terhadap dampak
perubahan iklim, Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk melakukan upaya
mitigasi perubahan iklim. Karena itu Indonesia perlu mengoptimalkan posisi
strategis tersebut dalam berbagai forum di tingkat internasional. Di satu sisi
, Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu dari sepuluh penghasil emisi
gas rumah kaca terbesar, dan dengan demikian memiliki peranan yang penting dalam
upaya mitigasi gas rumah kaca secara global. Di sisi lain, kerawanan terhadap
dampak perubahan iklim yang dimiliki Indonesia menjadikan aspek adaptasi
perubahan iklim sebagai salah satu prioritas nasional yang utama. Sadar akan
kedua aspek dari tantangan perubahan iklim, Indonesia menyadari bahwa mitigasi
dan adaptasi harus dijalankan secara simultan oleh semua negara. Untuk itu,
Indonesia memposisikan diri untuk bekerja sama baik secara bilateral maupun
multilateral dalam berbagai upaya internasional menghadapi perubahan iklim.
Indonesia juga menyadari bahwa penanganan perubahan iklim merupakan bagian tak
terpisahkan dari tantangan pembangunan nasional. Perencanaan atas berbagai
aspek perubahan iklim seharusnya dijalankan bersamaan dengan perencanaan pembangunan
ekonomi nasional, sehingga perencanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim harus terintegrasi dengan perencanaan pembangunan
nasionaldan daerah (provinsi, kabupaten/kota dan lokal).
Rumusan Masalah
Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca secara signifikan secara kumulatif pada tahun 2020. Untuk itu, perlu
diperhitungkan semua sektor dan program utama, biaya aksi berbeda-beda antara
tiap sektor, sehingga dibutuhkan pemeringkatan untuk menakar dampak ekonomi terhadap
pencapaian dalam hal reduksi emisi gas rumah kaca; jumlah pengurangan emisi
dapat meningkat jika skenario yang berbeda digunakan. Untuk itu, diperlukan
untuk semua sektor, penyusunan sebuah inventarisasi gas rumah kaca dan sistem
monitoring merupakan sebuah prasyarat. Dalam rangka mengurangi emisi CO2 secara
signifikan ini, relative terhadap skenario business-as-usual, sangat esensial
untuk memperkuat kapasitas kelembagaan sektoral dan sumber daya manusia yang
ada di Indonesia.
Dalam makalah ini, pembahasan akan fokus berkaitan dengan
kebijakan nasional yang menjadi prioritas dalam rangka penurunan emisi gas
rumah kaca, antara lain:
1. Bagaimana
kerangka kebijakan nasional penurunan emisi gas rumah kaca.
2. Bagaimana
Strategi nasional penurunan emisi gas rumah kaca di bidang Pertanian,
kehutanan, lahan gambut, energi dan transportasi, industri dan pengelolaan
limbah ?
Perubahan iklim akan menghasilkan tantangan yang besar
bagi pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, pemerintah Indonesia menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) untuk mencapai tujuan nasional, target sektoral, tolok
ukur serta prioritas aksi dengan mempertimbangkan masalah mitigasi
perubahan iklim bagi sektor-sektor ekonomi yang terkena dampaknya. Lebih
lanjut, RAN GRK diharapkan juga berperan sebagai panduan kebijakan terperinci
untuk implementasi strategi mitigasi perubahan iklim nasional melalui
penyusunan rencana kerja tahunan pemerintah pada periode 2010 – 2020 dan secara
khusus untuk mencapai angka pengurangan emisi nasional sebesar 26 % dan 41 %
untuk penurunan emisi GRK.
RAN-GRK disusun berdasarkan program dan kegiatan dari
Kementerian/Lembaga dalam RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025 yang kemudian
dibahas antar Kementerian/Lembaga. Keseluruhan rencana aksi tersebut diupayakan
untuk penurunan emisi GRK nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dari total emisi
bidang-bidang prioritas yang dilakukan selama ini (BAU). Program/ kegiatan yang
diprioritaskan adalah yang pelaksanaannya memakai dana sendiri (Unilateral NAMAs)
baik dari sumber APBN maupun APBD (termasuk pinjaman), swasta dan masyarakat,
berdasarkan beberapa kriteria umum sebagai berikut:
- Sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan.
- Efektifitas
penggunaan biaya dengan prinsip biaya termurah penurunan emisi GRK secara
terintegrasi;
- Kemudahan dalam implementasi dengan mempertimbangan
aspek politik, sosial dan budaya;
- Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional dan
daerah dimana kegiatan tersebut dilaksanakan.
- Berdasarkan pada asas yang saling menguntungkan dengan memprioritaskan program pembangunan/kegiatan yang memberikan kontribusi pada penurunan emisi GRK (Co-Benefit)
Untuk
memastikan keterlibatan dan rasa kepemilikan RAN GRK oleh tiap Kementerian dan Lembaga
pemerintahan, penyusunan RAN GRK ini disusun secara partisipatoris, dengan melibatkan
masing-masing Kementerian dan lembaga. Aksi prioritas yang dihasilkan
ditampilkan pada RAN GRK merefleksikan visi dan prioritas dari masing – masing
Kementerian dan Lembaga negara. Selanjutnya Bappenas melakukan proses analisa
dan pengembangan kebijakan untuk diintegerasikan di dalam perencanaan pembangunan
nasional. Penyusunan prioritas mitigasi gas rumah kaca mengacu pada data yang
disepakati dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009, dimana
data tersebut bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk itu, data dan
informasi tersebut perlu ditelaah kembali dengan data-data terbaru dengan
menggunakan metodologi yang diterima secara internasional namun disesuaikan
dengan kebutuhan nasional terkini dan perkembangan negosiasi di UNFCCC.
Ada dua skenario reduksi emisi yang dikembangkan untuk
tiap sektor (kehutanan dan lahan gambut, pertanian, industri, energi dan
transportasi, serta limbah) menjadi dasar perhitungan penurunan emisi GRK.
Untuk memastikan perbandingan dan konsistensi, metodologi yang terstandarisasi
digunakan untuk mengevaluasi dampak dari rancangan upaya mitigasi di semua sektor
prioritas. Metodologi tersebut mencakup elemen berikut:
- Tingkat emisi GRK Nasional tahun 2020 dan distribusi per sektor berdasarkan data dari KLH yang disepakati
dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009.
- Ragam skenario telah dikembangkan untuk dapat
mencakup periode waktu RAN-GRK selama 10-tahun. Pola pembangunan pada tiap
sektor telah diterjemahkan ke dalam dua lintasan emisi (penurunan 26% dan
41%).
- Skenario mitigasi telah dikembangkan, termasuk
intervensi kebijakan dan rencana aksi;
- Skenario yang dikembangkan dibagi ke dalam dua
periode waktu, masing-masing selama 5tahun: 2010 hingga 2014, dan 2015
hingga 2020;
- Biaya untuk langkah aksi diperkirakan berdasarkan
RPJM 2010-2014 dan Renstra K/L, menghasilkan sebuah sistem untuk
mengkalkulasi biaya pengurangan;
- Reduksi emisi kumulatif dikalkulasikan dalam GCO2e;
- Skenario yang dipilih ialah yang dianggap paling
memungkinkan untuk mengurangi emisi (termasuk pilihan aksi dan kebijakan),
sementara juga tetap memajukan priorita pembangunan nasional;
- Program sektoral dan anggaran telah disusun untuk
menggambarkan skenario dan upaya yang dilakukannya.
RAN-GRK disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
- RAN- GRK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Strategi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan yang akan disesuaikan
dengan perkembangan kebijakan;
- RAN-GRK tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan
pengentasan kemiskinan (tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat) dalam
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan;
- RAN-GRK merupakan rencana aksi yang terintegrasi
antara satu bidang dengan bidang yang lain dengan memperhatikan seluruh
aspek pembangunan berkelanjutan seperti daya dukung dan daya tampung
lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan penggunaan lahan;
- RAN-GRK merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung
kepentingan nasional dan upaya-upaya global penurunan emisi GRK;
- RAN-GRK berfungsi sebagai sarana koordinasi dalam
usaha mengoptimalkan potensi pendanaan internasional untuk kepentingan
Indonesia;
- RAN GRK merupakan rencana aksi dengan pendekatan baru
dalam pembangunan yang lebih memperhatikan upaya-upaya pengurangan emisi
GRK.
Berdasarkan kerangka kebijakan, prinsip serta metodologi
penetapan target dan kegiatan RAN GRK telah ditetapkan kegiatan-kegiatan inti
dan penunjang untuk penurunan emisi gas rumah
kaca dan target per bidang. Tiga bidang utama yang tercakup adalah
kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, serta
limbah. Target penurunan emisi GRK per
bidang dapat dilihat dalam Tabel di bawah ini.
Dalam penetapan target penurunan emisi, perlu diperhatikan
bahwa Business As Usual tingkat emisi GRK nasional perlu diperhitungkan
dengan lebih akurat, mengingat skenario tingkat emisi Business As Usual untuk
beberapa bidang masih perlu dievaluasi. Untuk itu, RAN-GRK perlu untuk terus
secara berkala ditinjau dan dilakukan pemantauan dan evaluasi berdasarkan
perkembangan terkini yang terjadi di Indonesia dan hasil negosiasi
internasional di UNFCCC.
Untuk menjabarkan penambahan 15% target penurunan emisi
GRK menjadi 41% (dari 26%) dengan dukungan internasional (Supported NAMAs),
dilakukan dengan memilih program/kegiatan tambahan yang pelaksanaannya tidak
menggunakan sumber-sumber dana dalam
negeri seperti APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) serta tidak untuk
penurunan pemisi
GRK yang diperdagangkan di pasar karbon. Namun penurunan emisi GRK lebih besar dari
41%, program/kegiatan yang dilaksanakan mencakup skema mekanisme perdagangan karbon
(atau credited NAMAs).
Pengembangan
RAN-GRK menuju NAMAs
Nationally
Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) adalah upaya
pengurangan emisi secara sukarela oleh negara berkembang dalam konteks
pembangunan berkelanjutan, sementara kewajiban pengurangan emisi negara
industri (Annex I Countries) disebut Nationally Appropriate
Mitigation Actions or Commitments disingkat NAMAC. Alinea 1 b ii pada
Keputusan 1/CP.13 (‘Bali Action Plan’) mencantumkan bahwa:
“Nationally appropriate mitigation actions by
developing country Parties in the context of sustainable development, supported
and enabled by technology, financing and capacity-building, in a measurable, reportable
and verifiable manner”
NAMAs
dapat didukung oleh pendanaan, alih teknologi dan penguatan kapasitas oleh
negara
industri
yang sifatnya terukur, dilaporkan dan diverifikasi (Measurable Reportanle
and Verifiable/MRV). Pada dasarnya, Konvensi Perubahan Iklim pada COP 15 di
Copenhagen mengenali dua jenis NAMAs yang akan dilaporkan 2 tahun sekali
melalui Nasional Komunikasi (National Communication), yaitu:
- NAMAs (Unilateral atau Mitigation Actions by Developing Countries): upaya mitigasi domestic yang dilakukan dengan sumber daya sendiri. Untuk mendapat pengakuan internasional (berdasarkan Copenhagen Accord), aksi mitigasi ini memerlukan MRV domestik dengan konsultasi internasional dan analisis menggunakan suatu panduan yang tetap menjamin kedaulatan nasional.
- NAMAs (seeking international support): adalah kegiatan NAMAs yang hanya akan berjalan bila memperoleh dukungan internasional untuk pendanaan, alih teknologi dan bantuan peningkatan kapasitas. Aksi mitigasi ini memerlukan MRV sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP (UNFCCC). Aksi mitigasi ini akan dicatat bersamaan dengan dukungan teknologi, finansial, dan peningkatan kapasitas yang terkait. Untuk upaya mitigasi di luar kedua mekanisme tersebut di atas, sering dikenal sebagai Credited NAMAs yang dapat diperjual belikan di pasar karbon.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di G20 di Pittsburg (September 2009) menyatakan bahwa Indonesia
akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% dari BAU pada tahun 2020 dengan usaha sendiri,
dan dapat meningkat menjadi 41% dengan dukungan internasional. Komitmen ini,
dipertegas kembali pada pidato Presiden di COP-15 Copenhagen (Desember 2009).
Untuk mewujudkan komitmen di atas, maka disusun RAN-GRK yang prinsipnya adalah
NAMAs oleh Indonesia.
RAN-GRK ini yang selanjutnya akan dievaluasi dan dikaji ulang sesuai kebutuhan nasional
dan perkembangan global terkini, sehingga memenuhi persyaratan dan pengakuan internasional
(UNFCCC).
Sejalan dengan proses tersebut, DNPI sesuai dengan target
Copenhagen Accord, telah menyampaikan surat mengenai posisi Indonesia kepada
UNFCCC yang memuat target penurunan emisi tanpa memerinci aktifitas per
sektornya. Sampai saat ini belum ada kesepakatan secara internasional di UNFCCC
mengenai metodologi, definisi, scope, approach dll terkait dengan NAMAs.
Akan tetapi, melihat kecenderungan hasil negosiasi maka untuk mendapatkan
pengakuan internasionl (UNFCCC) bahwa Indonesia sudah memenuhi janjinya, maka
untuk RAN GRK memenuhi standar NAMAs nantinya, Indonesia perlu untuk membuat
Nasional Baseline (akumulasi penjumlahan baseline dari setiap
sektos), skenario mitigasi dengan perhitungan abetement cost, nasional
NAMAs registry dan indikator untuk MRV. Dalam penyusunan nasional baseline
nantinya, akan ditetapkan dengan landasan yang komprehensif seperti apa
yang dapat menjustifikasi baik target nasional maupun sektoral, serta bagaimana
mekanisme dan konsep MRV yang akan digunakan. Karena kerangka waktu RANGRK bersifat
jangka menengah, maka perlu disusun tahapan dan trajektori penurunan emisi pertahun,
persektor, sampai dengan tahun 2020 sehingga dapat dimonitor dan dievaluasi
secara berkala.
Diperlukannya kajian secara komprehensif tentang baseline
dari emisi nasional maupun berbagai skenario penurunan dari emisi
persektornya. Dari skenario penurunan emisi persektornya tersebut yang akan
diperlukan untuk target penyusunan rencana aksi dan kegiatan-kegiatan yang akan
dimuat dalam RAN-GRK. Dalam kajian komprehensif tersebut diharapkan memberikan gambaran
tentang implikasi target penurunan GRK terhadap pertumbuhan masing-masing sektor
maupun nasional serta perhitungan cost benefitnya. Penentuan national
emissions reduction projection under BAU scenario hanya menggunakan “trend”
adalah tidak appropriate. CO2 yang ada di atmosphere adalah merupakan
kontribusi dari activities of the each sectors, dimana langgam-nya (its
behaviour) akan tidak selalu sama dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh di sektor ketenagalistrikan: komposisi
energi primer pada tahun ini atau tahun 2005 akan jauh berbeda dengan tahun
2015 atau 2020, dan seterusnya. Langgam komposisi energi primer ini tidak sama
dari waktu ke waktu, sehingga CO2 yang dikontribusikan akan berubah. Oleh
karena itu simulasi jangka panjang perlu dilakukan tentunya dengan objective
function yang jelas dan tentunya cost effective (non-intervention
scenario). Hal yang sama juga akan terjadi di sektor transportasi, yang
akan jauh lebih complex dan dapat bersifat non-linear, misalnya perubahan
mode of transportations, atau adanya constraint of transportation
infrastructures. Berikut, beberapa definisi Baseline, yang
mengandung pengertian yang sama dimana tidak satupun cara projeksi emisi CO2
under BAU scenario (baseline) disarankan dengan menggunakan “trend”, sebagai berikut:
1. Climate
Change: A Glossary of Terms; 4thEdition, April 2007. IPIECA: “Baseline: A
projected level of future emissions against which reductions by project
activities might be determined, or the emissions that would occur without
policy intervention.
2. UNFCCC
RESOURCE GUIDE, For Preparing the National Communications of Non-Annex I Parties.
3. Module
4, Measures to Mitigate Climate Change: Baseline Scenarios: Aplausible and
consistent description of how asystem might evolve in the future in the absence
of explicit new GHG mitigation policies.
4. Baseline
scenarios are the counter factual situations against which mitigation policies
and measures will be evaluated. A baseline should not beconsidered as a
forecast of what will happen in the future, since the future is in herently
unpredictable and depends, in part, on planning and policy adoption. Assessment
will typically require one or more baseline scenarios as baseline are highly
uncertain over the long term and may prove controversial, particularly
indeveloping countries.
5. CLIMATE
CHANGE 2007. MITIGATION CLIMATE CHANGE; Working Group III
6. Contribution
to the 4thAssessment Report of the IPCC, Summary for the Policymakers and
Technical Summary: Baseline: The reference for measurable quantities from which
analternative outcome can be measured, e.g. a non‐intervention scenario is
used as a reference in the analysis of intervention scenarios.
7. World
Energy Outlook 2006; IEA, 2006: The Reference Scenario does not take
intoconsideration possible, potential or even likely future policy actions.
Thus, the Reference Scenario projections should not beconsidered forecasts, but
rather a baseline vision of how energy markets woul devolve if governments do
nothing beyond what they have already committed themselves to influence long‐term energy trends.
Policy cenario, analyses the impact of arange of policies and measures that
countries in allregions are considering adopting or might reasonably be
expected to adopt some point over the projection period.
No comments:
Post a Comment