Perdebatan Teori Hukum Murni
Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori
tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris,
pertama-tama bidang politik, dan juga dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang
dianut bidang politik. Sebagai kritik terhadap Analytical Jurisprudence, Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai
norma pada tataran the Ought / das Sollen,
yang terpisah dari bidang empiris, karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah
perintah yang berada pada tataran the Is
/ das Seitz di bidang empiris. Dengan
demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-hukum,
seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika (filsafat moral) dan politik.
Pemurnian hukum dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan
menggunakan filsafat neo-kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya.
Neo-kantianisme mazhab Marburg memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I das Sin, dan, antara bentuk
(Form) dengan materi (matter).
Teori Hukum Muni memusatkan kajiannya hanya pada hukum
formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma
hukum dengan puncak "Grundnorm".
Qleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka
Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya
teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum
dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada
aspek yuridis formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan
permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum,
dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya
pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau
pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum
sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum
tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral.
Walaupun mengadung kelemahan, stufen theory
dalam Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum.
Teori Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi
tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan
mencegah anarkisme murni pada sisi lain.
Jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen,
pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasional.
Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan
logika hukum secara formal. Logika formal ini telah lama dikembangkan dan
menjadi karakteristik utama filsafat Neo-Kantian XE "Neo-Kantian" yang
kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori
umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting,
yaitu aspek statis (nomostatics XE "nomostatics") yang
melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic
XE "nomodinamic" ) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan
tertentu.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen, disebut The Pure
Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua
kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris.
Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran
hukum yang telah ada sebelumnya.
Teori tertentu yang dikembangkan oleh Kelsen dihasilkan
dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk
konsep dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum. Masalah utama (subject
matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm),
elemen-elemennya, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya,
hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya, kesatuan hukum di dalam
tata hukum positif yang plural. The pure theory of law menekankan pada
pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan
mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan manifestasi
dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang
spesifik berdasarkan pengalaman manusia.
Teori hukum postivistik, telah menjadi
sebuah mainstrem dalam hidup dan
kehidupan hukum di setiap komunitas. Demikian banyak hal yang dijanjikan oleh
teori hukum ini, yang dipandang — oleh pengikutnya — sebagai sebuah alternatif
terbaik, untuk memperbaiki struktur dan pola-pola hubungan yang ada di
masyarakat. Hanya saja, sebagaimana disinyalir oleh Satjipto Rahardjo , terjadi
kemandulan dari hukum dan ilmu hukum yang ada di Indonesia, hal ini dikarenakan
hukum yang berkembang di Indonesia sampai dengan dasawarsa 1980-an dinilai
tidak mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan demikian juga tidak
membantu berhasilnya usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan masyarakat.
sedangkan ilmu hukumnya pun hanya mendasarkan pada konsep-konsep mengenai dan
metode pendekatan terhadap hukum yang tidak peka terhadap perkembangan,
perubahan dan proses sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.
Teori hukum positivistik, sebagai sebuah
teori yang muncul pada Abad ke-XIX, dapat dipandang sebagai sebuah aliran yang
kemudian dapat menimbulkan semangat serta sikap yang bersifat kritis terhadap
masalah-masalah yang dihadapi, karena dengan lahirnya teori hukum positivistik
ini, suatu tradisi ilmu yang baru telah berkembang, yakni ilmu yang nantinya
mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia, yang semula seperti
terselubung oleh cara-cara pemahaman “tradisional”. Oleh Hart, seorang pengikut
positivisme, diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut:
1.
Hukum adalah
perintah;
2.
Analisis
terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta
berlainan pula dari penilaian kritis;
3.
Keputusan-keputusan
dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih
dulu, tanpa menunjuk pada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas;
4.
Penghukuman
(judgment) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran
rasional, pembuktian atau pengujian;
5.
Hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum harus senantiasa dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering
kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme .
Sementara itu, prinsip-prinsip positivisme hukum dapat
diringkas, sebagai berikut:
1.
Hukum adalah
sama dengan undang-undang. Dasarnya, bahwa hukum muncul berkaitan dengan
negara; hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara;
2.
Tidak terdapat
suatu hubungan mutlak antara hukum dan moral. Hukum tidak lain sebagai hasil
karya para ahli dibidang hukum;
3.
Dalam
positivisme yuridis ditambah bahwa hukum adalah “closed logical system”. Peraturan dapat dideduksikan dari
undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma
sosial, politik dan moral.
Dalam pandangan Austin, hukum adalah
suatu perintah. Ia melukiskan perintah itu, digambarkan dari seorang yang
memegang senjata kepada seorang pegawai bank. Perintah itu disertai ancaman: “Hand over the money or I will shoot”.
Padahal sebenarnya perintah (command)
bersifat melaksanakan kewenangannya
terhadap seseorang bukannya untuk melukainya. Selanjutnya untuk memberikan
pengertian hukum, Hart cenderung menggunakan istilah kewenangan (authority), dimana perintah itu tidak
untuk menakut-nakuti tetapi untuk menghormatinya. Menerima dan memahami hukum
sebagai perintah saja, tampaknya kurang memberikan gambaran yang lengkap,
karena akan timbul pertanyaan mengenai pertimbangan pemikiran yang terkandung
dalam perintah itu. Hart, lebih cenderung memandang hukum bukan sebagai
perintah oleh pihak yang berkuasa, akan tetapi, sebagai pengaturan penduduk
yang berada di dalam wilayah tertentu.
Dengan demikian pemikiran John Austin
dan Hans Kelsen lebih menekankan penglihatannya pada hukum sebagai perangkat peraturan-peraturan yang logis dan
konsisten. Orang dapat mempelajari atau mengkaji hukum terlepas dari
ikatannya dengan masyarakat tempat ia beroperasi. Pemikiran tentang hukum
seperti ini lebih melihat ke dalam, yakni analisis dari sistem dan isi hukum,
penafsiran makna-makna dan peraturan dan yang sejenisnya. Inilah cara pandang
yang melihat hukum sebagai suatu sistem yang logis tertutup dan konsisten.
Pandangan normatif ini mendapat dasar
pembenarnya pada model ilmu ideal menurut Hermeneutik. Penafsiran hermeunetik
merupakan metode penafsiran yang berupaya memperoleh pengertian suatu makna
teks dalam konteks historis dan linguistik. Tidak ada pengertian atas suatu
teks yang diperoleh di luar konteks sejarah dan bahasa suatu masyarakat.
Sejarah berarti pula akumulasi tradisi yang pengertiannya dapat diperoleh
melalui bahasa sebagai mediasi antara masa lalu dengan masa kini . Dengan
demikian, hermeneutik menghubungkan pemahaman sejarah dengan tradisi yang
berkembang dari dalam suatu teks peraturan perundang-undangan. Menurut Hermeneutikus yang dipelopori oleh Wihelm
Dilthey, ilmuan membangun teori-teori ilmiahnya sebagai partisipan pada
gejala-gejala. Pendekatan eksternal tidaklah mungkin, karena gejala-gejala yang
dipelajari tidak dapat dibawa kembali kepada fakta-fakta yang harus diuji
secara empiris.
Di Indonesia pemikiran tentang hukum
berdasarkan pendekatan normatif ini banyak menyita perhatian. Hal ini dapat
dilihat dalam susunan kurikulum fakultas hukum yang untuk sebagi besarnya
diarahkan kepada penempaan keahlian untuk memahami dan memakaikan
peraturan-peraturan yang berlaku. Hal ini bukanlah suatu keadaan yang terjadi
dengan sendirinya, akan tetapi merupakan suatu tradisi pemikiran yang diwarisi
oleh sejarah.
Sebagaimana diungkapkan oleh oleh
Sartono Kartodirdjo , dibukanya sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi, pada
masa pemerintahan Hindia Belanda, didasarkan pada adanya kebutuhan akan tenaga,
baik dalam bidang administrasi maupun dalam berbagai bidang teknik dan
kejuruan. Demikian pula dalam bidang hukum, dibentuknya pendidkan tinggi hukum
— sebagai suatu lembaga pendidikan yang lahir di bawah semanagt politik etik —
pada masa pemerintahan Hinda Belanda dahulu pada tahun 1909, untuk kemudian dirubah
menjadi pendidikan hukum setingkat universitas pada tahun 1924, menurut
Soetandyo, dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga-tenaga terdidik guna mengisi
jabatan-jabatan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman landaard. Oleh karena
itulah ilmu hukum yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum waktu itu pada
hakekatnya merupakan ilmu peradilan. Dalam mempelajari hukum para pelajar
menempatkan diri sebagai hakim dan menggunakan kacamata hakim. Ini menunjukan
cara kerja peradilan yang mempunyai ciri-ciri menghadapi peristiwa-peristiwa
individual (kasus), mencari hukumnya dengan penemuan hukum dan kemudian
menerapkannya untuk menyelesaikan suatu konflik. Hal ini hanya bisa dilakukan
apabila mereka mempergunakan optik preskriptif.
Untuk dapat melakukan tugas itu dengan
baik, tentunya mereka harus memihak dengan hukum positif, yaitu menerima bahwa
hukum positif itu adalah peraturan yang harus dijalankan, yang harus ditaati.
Ini merupakan suatu attached-concern
terhadap hukum positif. Hal ini dilengkapi dengan suatu pandangan yang
memandang hukum sebagai suatu sistem yang otonom-logis-konsisten. Hal ini
diperlukan agar mereka terampil dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan-peraturan
hukum.
Salah satu kritik yang dapat diajukan
terhadap teori hukum postivistik, dapatlah dilihat dri sudut apa yang dijadikan
oleh penganut teori ini sebagai sumber hukumnya, baik sumber material ,
termasuk di dalamnya masalah normativitas hukum (mengapa hukum ini mengatur?),
yang menyangkut masalah dasar pembenaran hukum (yang memberi nilai dan
validitas mudah menyulut konflik, merupakan pendasaran moral) berarti
pembenaran ideologis (teologis) dan simbolis dari hukum yang berlaku dan akan
diberlakukan, maupun sumber formal hukum yang terkait dengan bentuk legitimasi
sistem politik yang berlaku dan pola hubungan moral-hukum. Kritik yang demikian
kuat ditujukan terhadap teori hukum positivistik adalah, bahwa, teori ini di
dalam memandang hubungan antara hukum dan moral selalu mendasarkan pada
pola-pola hubungan sebagai berikut:
Pertama, meskipun teori
hukum positivistik menempatkan moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum.
Dalam hal ini moral tidak lain hanya bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai
ciri universalitas. Sebagai bentuk, moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan
masih menantikan pewujudan. Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif. Akan
tetapi teori hukum positivistik, memandang hubungan moral sebagai jiwa hukum
ini diwujudkan dalam pola dimana moral hanya ditempatkan sebagai perjalanan
sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup memberi bentuk
moral dan eksistensi kolektif.
Selain daripada itu teori hukum
positivistik mendasarkan pada pemahaman, bahwa satu-satunya cara untuk menjamin
kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret adalah menerapkan
pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan ditatapkan pada
dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang terus-menerus.
Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan dalam kehidupan
nyata, tetapi sekaligus sanksi akan keberhasilannya. Maka yang bisa dilakukan
adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak, pilihan berupa
revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di Afganistan, ada
kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu bisa dilakukan
dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat. Kecenderungannya ialah
menggunakan metode otoriter.
Kedua, teori hukum
positivistik di dalamnya mengandung pula unsur-unsur pemahaman, yang
menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat
direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang
tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan
melihat perbedaannya. Dalam hal ini teori hukum positivistik menganut pola
hubungan antara moral dan hukum dimana politik dikaitkan dengan campur tangan
suatu kekuatan dalam sejarah. Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang
berhasil melandaskan diri pada mesin institusional. Moral dianggap sebagai
salah satu dimensi sejarah, sebagai etika konkret bukan hanya bentuk dari
tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan dengan politik. Di satu pihak,
moral hanya bisa dipahami melalui praktik politik. Melalui politik itu moral
menjadi efektif: melalui hukum, lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam
masalah kesejahteraan umum. Tetapi, moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam
politik. Di lain pihak, politik mengakali moral. Sampai pada titik tertentu,
politik (dalam arti ambil bagian dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan
moral karena politik hanya menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari
masyarakat. Dengan pemetaan pola hubungan moral-hukum, dapatlah diketahui
bagaimana pola hubungan antara hukum dengan moral yang hendak dibentuk oleh
teori hukum positivistik.
Dengan mendasarkan pada pola “moral
diwujudkan melalui perjuangan dalam pertarungan kekuatan dan kekuasaan”, teori
hukum positivistik pada dasarnya tidak bisa melepaskan diri dari proses
legitimasi sistem politik yang berlaku. Pengaruh moral akan sangat tergantung
pada kemenangan partai yang membawa aspirasi moral yang bersangkutan dan pada
politikus-politikus pemegang kekuasaan. Secara politis masuknya aspirasi moral
tertentu dalam penerapan sistem hukum negara melalui cara ini legitim, tetapi
akan meminggirkan atau mengabaikan aspirasi kelompok minoritas. Pola inilah
yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia dan rentan terhadap
konflik.Tuntutan understandability dan communicability penting, tetapi bisa
diabaikan karena dengan mayoritas suara tidak terlalu sulit menggolkan
aspirasinya.
Selanjutnya dengan dianutnya pola
“voluntarisme moral dengan cara revolusi puritan”, maka teori hukum positivistik
pada dasarnya lebih mengandalkan pada reformasi moral terus-menerus memberi
peluang kepada semua pihak untuk ikut menyumbangkan di dalam pembangunan sistem
hukum negara melalui perdebatan teoretis, debat tentang nilai dan diskusi
tentang prioritas yang selalu diperbarui. Maka tuntutan understandability dan
communicability menjadi syarat utama. Sedangkan pola ketiga yang memiliki
revolusi puritan arahnya jelas pada pemaksaan dan kekerasan.
Selanjutnya dengan dianutnya pola
hubungan yang memandang “politik tidak lepas dari suatu kekuatan sejarah”, yang
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pola “moral diwujudkan melalui
perjuangan dalam pertarungan kekuatan dan kekuasaan”, teori hukum positivistik
memandang bahwa, perjuangan moral harus melalui perjuangan di tengah
pertarungan kekuatan dan kekuasaan, hanya moral tidak lebur dalam politik dan
hukum, tetapi mengambil jarak dan berbagi lahan. Dengan demikian kegagalan
sistem politik dan hukum tidak bisa dikatakan sebagai kegagalan moral..
Dengan mendasarkan pada pemahamn yang
demikian, maka teori hukum positivistik pada dasarnya tidak menerima begitu
saja psinsip “yang legal belum tentu moral”. Positivisme hukum yang semata-mata
lebih mengutamakan aspek kepastian hukum yang akan dibentuk dan terbetuk
melalui kekuasaan, acapkali memang tidak mengindahkan sama sekali aspek-aspek
moral. Pada abad ke XV-XVI, digambarkan ketidakberdayaan moral di dalam
politik. Machiavelli dalam The Prince menolak mendasarkan politik atas hak dan
hukum. Dia menyatakan, tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat
memaksakannya. Hanya sesudahnya hak dan hukum akan melegitimasi kekuatan itu.
Hukum adalah nama yang diberikan a posteriori oleh penguasa pada kelupaan atas
asal-usul kekuasaan. Asal kekuasaan adalah kekerasan. Dalam politik, kekuatan
menentukan, sedangkan moralitas tidak berdaya. Machiavelli menghapuskan jarak
antara hukum dan kekuatan.
Dengan nuansa positivisme hukum yang
lebih kental, Thomas Hobbes menyatakan, “Perjanjian tanpa pedang hanyalah
kata-kata kosong” (Leviathan XVIII). Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang
kuat untuk bisa memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan
tidak menuntut kewajiban sehingga membiarkan individu dalam keadaan perang satu
melawan yang lain. Hal ini pun didukung oleh filosof-filosof positivisme, antra
lain pandangan : pertama Trasymachus yang menyatakan bahw, hukum merupakan
kendaraan untuk kepentingan-kepentingan mereka yang kuat; Kedua, pendapat Machiavelli memperlihatkan, hukum tidak lain
kecuali alat legitimasi kekuasaan dan dalam arti tertentu menjadi alat
pembenaran kekerasan, dan; Ketiga, perspektif Hobbes menunjukkan, hukum tak
berdaya bagi mereka yang tidak mempunyai kekuatan atau yang dalam posisi lemah.
Selain daripada itu pada saat ini
masyarakat Indonesia sedang berada dalam arus perubahan yang terjadi secara
cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang semula
bebasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu diikuti oleh
penyesuain pada segi kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum positipnya
maupun penyesuaian di bidang teori dan konsepsi serta pengertian-pengertian.
Dalam abad 20 ini susunan masyarakat
menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran bidang-bidang dalam
masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan demikian pengaturan
yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang
demikian. Pada sisi lainnya sebagai suatu bangsa yang merdeka, maka bangsa
Indonesia merupakan subyek hukum yang merdeka pula. Artinya sebagai suatu
bangsa, bangsa Indonesia terlibat penuh ke dalam aspek penyelenggaraan hukum,
mulai dari pembuatan sampai pelaksanaannya. Hal ini tentunya berbeda dengan
kehidupan hukum di masa Hindia Belanda. Pada masa itu bangsa Indonesia tidaklah
mempunyai tanggung jawab sepenuhnya dalam masalah perencanaan, pembangunan,
pemeliharaan dan penegakan hukumnya. Bangsa Indonesia hanya menjadi penonton
pinggiran dan menjadi obyek kontrol dari hukum, segala keputusan dan strategi
pembanguan hukum ditentukan oleh pemerintah Kerajaan Belanda .
Sejalan dengan itu mulai muncullah
tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan
perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai dengan politik
pembangunan negara. Dengan demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi
persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsirannya serta penerapan
pasal-pasal undang-undang secara semestinya, melainkan bergerak kearah
penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun tata
kehidupan baru .(Rahardjo, 1977 : 16). Ia tidak dapat lagi memandang hukum
hanya sebagai suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan
sosialnya, akan tetapi harus melihat hukum sebagai suatu lembaga yang selalu
terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi
perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang hidup.
Kelemahan yang paling mendasar dalam
aliran filasafat positivistik adalah, bahwa ia tidak mampu “memotret” atau
menjelaskan realitas hukum secara holistik, dalam konteks law as a great
anthropological monument”. Para yuris profesional dan mereka yang berpandangan
normatif, tidak mampu melihat kebenaran, bahwa hukum itu merupakan suatu
monumen antropologi. Ia cenderung untuk mereduksinya ke dalam “peraturan dan logika”
(rule and logic), serta mengacu pada
norma-norma dari pada aksi atau peristiwa. dan dengan demikian menjadikan
gambar yang benar dan lengkap mengenai hukum menjadi cacat. Melalui pendekatan
normatif profesional, hanya mampu melihat secara hitam putih, tidak dapat
melihat kebenaran yang lebih lengkap mengenai apa yang terjadi dalam praksis
kontrol sosial. Melalui pendekatan positivistis-normatif profesional, kita
hanya akan menemukan keharusan-keharusan dan bukan kebenaran.
No comments:
Post a Comment