KEJAHATAN
KERAH PUTIH (WHITE COLLAR CRIME)
PENYAKIT
BIROKRAT YANG SEMAKIN PARAH
(Orinton
Purba)
Pengantar
Ketika Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kembali menjadi Presiden, Tiga agenda pokok
presiden dalam program kerja 100 hari pertamanya, yakni akan memimpin langsung
agenda pemberantasan korupsi. Terdapat tiga isu pokok yang disampaikan dalam
pidato pertama setelah resmi dinyatakan terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU), yaitu penyusunan kabinet, program kerja 100 hari pertama, dan
langkah-langkah transisional dari pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
ke SBY. Tanpa mengumbar banyak janji, pidato itu bersubstansi langkah yang
rasional, dan menyentuh banyak aspek kebutuhan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Sederhana, tetapi akan mewarnai hari-hari penuh tantangan
pemerintahan yang baru.- Salah satu yang ditunggu dalam rangkaian langkah
perubahan pemerintahan baru adalah bagaimana komitmennya dalam pemberantasan
korupsi, yang secara lebih luas menyangkut korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Komitmen ini akan terkait dengan kepercayaan masyarakat internasional,
sehingga persoalan penegakan hukum memegang peranan penting dalam pembangunan
ekonomi melalui investasi. Kepastian hukum, dengan keterprediksian penanganan
kasus-kasus korupsi, pada hakikatnya adalah fondasi membangun kemaslahatan
sosial. Citra penyelenggara negara akan tergantung pada sejauh mana
keteguhannya meletakkan komitmen penegakan hukum sebagai magnet bagi para
investor untuk memberi kepercayaan. Dengan paradigma sosiologis, kita ingin
mendekati penegakan hukum perkara korupsi secara extra ordinary. Artinya,
dibutuhkan keberanian yang ekstra, karena perkara korupsi pada umumnya terkait
dengan orang-orang yang memiliki akses untuk memengaruhi pusat-pusat kekuatan
politik dan ekonomi. Penegasan SBY yang akan memimpin langsung agenda
pemberantasan korupsi harus kita kawal sebagai komitmen bersama, karena
upaya-upaya menstimulasi perbaikan perekonomian, sekali lagi, harus dibarengi
dengan menumbuhkan kepercayaan mengenai adanya hukum yang andal, peradilan yang
terpercaya, dan hukum yang benar-benar mampu membawakan peran rasa keadilan
substansial. Hal ini berarti tuntutan mengenai perlawanan terhadap semua bentuk
diskriminasi hukum.
Agenda 100 hari pertama tentu tidak mungkin
langsung mampu menjawab semua persoalan penegakan hukum. Namun sampai saat ini,
permasalahan korupsi yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang
tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh
media seolah-olah merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari
budaya korupsi yang telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai
dari bawah hingga kaum elite. Banyak kasus korupsi yang sampai sekarang tidak
diketahui ujung pangkalnya. Salah satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan
oleh orang-orang Partai Demokrat sendiri, seperti Nazaruddin Cs dalam Kasus
Wisma Atlet. Mari kita simak pernyataan dalam media massa berikut:
Majelis
Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta dalam pertimbangan putusannya mengatakan
perbuatan terdakwa kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games, Muhammad
Nazaruddin digolongkan dalam white colar crime (kejahatan kerah putih).
Sehingga, harus diperlakukan secara khusus dalam hal penghukumannya. Di mana
dikatakan dilakukan oleh mantan Bendahara Umum (Bendum) DPP Partai Demokrat ini
dengan akal bulus atau terselubung. Dengan tujuan, mendapatkan harta atau
kekayaan. "Bahwa ini white colar
crime atau kejahatan kerah putih. Dengan akal bulus atau terselubung untuk
mendapatkan uang atau kekayaan," kata hakim anggota, Marsudin Nainggolan
saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Oleh karena itu,
Nazaruddin dijerat dengan menggunakan Pasal 11 UU Tipikor, yaitu pegawai negeri
menerima hadiah atau janji padahal patut diduga hadiah tersebut berhubungan
dengan jabatan atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji ada
hubungannya dengan jabatannya. Seperti diketahui, mantan Bendahara Umum
(Bendum) DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin divonis selama empat tahun
dan 10 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan dalam
sidang yang berlangsung Jumat (20/4) di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Sebab,
dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. "Menyatakan
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi
sebgaimana dalam dakwaan ketiga, Pasal 11 UU Tipikor. Menjatuhkan pidana selama
empat tahun dan 10 bulan dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan," kata
Ketua Majelis Hakim, Dharmawati Ningsih saat membacakan putusan di Pengadilan
Tipikor, Jakarta, Jumat (20/4). Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai
Nazaruddin selaku penyelenggara negara telah terbukti menerima uang Rp 4,6
miliar dari lima lembar cek yang berasal manajer marketing PT Duta Graha Indah
(DGI), Mohamad El Idris. Sebagai, realisasi commitmen fee 13 persen untuk
pemenangan PT DGI sebagai pelaksana pembangunan Wisma Atlet SEA Games tahun
2011. "Peranan terdakwa sebagai anggota DPR RI melalui saksi Mindo
Rosalina Manullang (Rosa) menurut Majelis Hakim memberikan upaya-upaya supaya
PT DGI mendapat proyek pemerintah, yaitu pembangunan Wisma Atlet SEA
Games," kata hakim anggota, Marsudin Nainggolan. (http://www.suarapembaruan.com/20 April 2012).
Anggota
Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo menyatakan, proyek pembangunan sarana
olahraga di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor Jawa Barat tak lain adalah
kejahatan "kerah putih". "Proses penganggaran proyek Hambalang
yang penuh misteri adalah skandal bernuansa kejahatan kerah putih," kata
Bambang kepada ANTARA News. Bambang mengatakan sejumlah anggota Komisi X DPR RI
yang berkaitan dengan proyek Hambalang, tidak memiki informasi yang cukup,
tidak tahu proses perencanaan dan penganggaran, termasuk penetapan proyek ini
sebagai program multi years.(ANTARA News Senin, 4 Juni 2012 13:36 WIB | 2688 Views).
Skandal
pemberian dana talangan ke Bank Century, dinilai sebagai salah satu kejahatan
kerah putih yang sempurna di Indonesia. Skandal ini dilakukan oleh mereka yang
sedang berkuasa, dan mengetahui dengan betul aturan yang bisa dimanipulasi.
Skandal pemberian dana talangan Bank Century ini, menjadi kejahatan kerah putih
yang sempurna karena tak tampak sebagai kejahatan."Di dalam kasus ini
kontruksi hukumnya jelas, ada tindak pidana perbankan, korupsi, dan pidana
umum.Tetapi kejahatan Century ini kejahatan kerah putih yang sempurna,
pelakunya punya keahlian dan otoritas. Ketika kejahatan terjadi, mereka sedang
di pusat kekuasaan sehingga kejahatan ini tidak terlihat seperti
kejahatan," kata mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera,
Misbakhun, di Jakarta, Selasa (22/11/2011). Misbakhun pernah menjadi tim
sembilan DPR yang menggagas pembentukan panitia khusus DPR, untuk menyelidiki
skandal pemberian dana talangan ke Bank Century.Menurut Misbakhun, skandal Bank
Century sudah jelas merugikan negara, tetapi sangat sulit membawa mereka yang
bertanggung jawab untuk diadili di muka hukum. "Kerugian negara sudah
selesai diaudit investigasi BPK, bailout tak punya dasar hukum karena
RUU JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan) tak disetujui DPR. Pengucuran dana
sebesar itu tak ada dasar hukumnya, dan BPK dalam kesimpulannya menyatakan
kerugian negara itu Rp 6,7 triliun. (KOMPAS.com –Selasa,
22 November 2011 | 22:31 WIB)
Pertanyaan yang penting untuk
dijawab di sini adalah bagaimana bisa muncul suatu penyakit, yaitu korupsi.
Mengapa dia menjadi benalu yang tidak pernah lepas dari kehidupan berbangsa dan
bernegara? Bahkan korupsi telah menjamah semua kalangan di dalam masyarakat.
Yang lebih memprihatinkan adalah korupsi terus bersarang, dan sarangnya semakin
besar, di kalangan atas, para elite, pejabat, dan pemimpin yang memiliki kuasa
dalam mengatur kesejahteraan masyarakat umum.
Mengapa korupsi bisa terjadi?
Mengacu kepada kasus Wisma Atlet, melihat keterkaitan korupsi dengan kekuasaan,
tindak kejahatan korporasi dan birokrasi, adalah hal yang akan dibahas dalam
makalah ini. Rumusan masalah dalam makalah ini terletak pada kasus korupsi yang
dilakukan oleh kalangan atas, para elite, pejabat dan petinggi Negara semakin
serius sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi Negara dan masyarakat.
Landasan Teori
Dalam melihat hubungan antara
korupsi, kekuasaan, dan kejahatan korporasi dan birokrasi ini, akan dibahas
pengertian beberapa kerangka teoritik berikut.
Secara etimologi, kata korupsi
berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptus yang merupakan kata sifat dari kata
kerja corrumpere yang bermakna menghancurkan (com memiliki arti
intensif atau keseungguh-sungguhan, sedangkan rumpere memiliki arti
merusak atau menghancurkan. Dengan gabungan kata tersebut, dapat ditarik sebuah
arti secara harfiah bahwa korupsi adalah suatu tindakan menghancurkan yang
dilakukan secara intensif. Dalam dictionary.reference.com, kata corruption diartikan
sebagai to destroy the integrity of; cause to be dishonest, disloyal, etc.,
esp. by bribery (“Corrupt
| Define Corrupt at Dictionary.com”.
Dictionary.reference.com. Retrieved 2010-12-06.)
Sejatinya, ada begitu banyak
pengertian dari korupsi yang disampaikan oleh para ahli. Huntington (1968)
memberikan pengertian korupsi sebagai perilaku pejabat publik yang menyimpang
dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr. Kartini
Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan
jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum. Korupsi
juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk
keuntungan pribadi. Namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak
mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”. “Mempertahankan Jarak” ini maksudnya adalah
dalam mengambil sebuah keputusan, baik di bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya, permasalahan dan kepentingan pribadi atau keluarga tidak memainkan
peran Selain itu, korupsi juga dapat
dikatakan sebagai representasi dari rendahnya akuntabilitas birokrasi public.
Nye, J.S. (1967) dalam “Corruption
and political development” mendefiniskan korupsi sebagai prilaku yang
menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam
posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti
kekayaan, kekuasaan dan status (Agus Suradika, 2009: 2).
Amin Rais, dalam sebuah makalah
berjudul “Suksesi sebagai suatu Keharusan”, tahun 1993, membagi jenis korupsi
menjadi empat tipe. Pertama, korupsi ekstortif (extortive
corruption), yaitu korupsi yang merujuk pada situasi di mana seseorang
terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas
hak dan kebutuhannya. Misalnya, seorang pengusaha dengan sengaja memberikan
sogokan pada pejabat tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan
terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran
rupiah. Kedua, korupsi manipulatif (manipulative corruption),
yaitu korupsi yang merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh
keuntungan setinggi-tingginya. Misalnya pemberian uang kepada bupati, gubernur,
menteri dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan pihak
tertentu yang memberikan uang tersebut Peraturan ini umumnya dapat merugikan
masyarakat banyak. Ketiga, korupsi nepotistik (nepotistic
corruption), yaitu perlakuan istimewa yang diberikan pada keluarga:
anak-anak, keponakan atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon.
Dengan perlakuan istimewa itu para anak, menantu, keponakan dan istri
sang pejabat juga mendapatkan keuntungan. Keempat, korupsi subversif (subversive
cossuption), yaitu berupa pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan
oleh para pejabat negara dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari oang
yang mempunyai kekuasaan itu. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan
sosial dan dalam semua organisasi sosial.Kekuasaan sosial adalah kemampuan
untuk mengedalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan
member perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat
dan cara yang tersedia. Kekuasaan dalam suatu masyarakat selalu berbentuk
piramida, yang disebabkan oleh kekuasaan yang satu menegaskan dirinya lebih
unggul daripada yang lain. Piramida kekuasaan ini menggambarkan kenyataan bahwa
dalam sejarah masyarakat golongan yang berkuasa dan yang memerintah itu relatif
lebih kecil dari pada yang dikuasai.
Kekuasaan politik adalah kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya mamupun
akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri.
Kekuasaan politik merupakan bagian dari kekuasaan sosial, dan fokusnya
ditujukan kepada negara sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk
mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan
Pengertian dasar dari konsep white-collar
crime yang dikemukakan oleh Sutherland adalah untuk menunjuk tipe pelaku
dari suatu kejahatan, yaitu “orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur
pekerjaanya” (Sutherland, 1949: 9). Orang dari kelas sosial ekonomi ini,
menurut Sutherland, adalah mengacu kepada orang-orang yang berada di kelompok
orang-orang terhormat.
Atas dasar pengertian di atas,
tindakan kriminal seperti pembunuhan, perzinahan, dan peracunan tidak dapat
dikategorikan sebagai white-collar crime meskipun kejahatan itu
dilakukan oleh orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi karena tindakan itu
tidak memiliki kaitan dengan pekerjaannya. Kejahatan yang dilakukan oleh
penjahat yang kaya, misalnya kecurangan dalam perjudian, yang memiliki kaitan
erat denganpe pekerjaannya, juga tidak dapat dikateogrikan sebagai white-collar
criminal, karena penjahat tersebut tidak termasuk dalam golongan orang
terhomat (Muhammad Mustofa, 2010: 17).
White-collar yang dimaksudkan oleh Sutherland adalah mereka yang
merupakan orang-orang terhormat. Istilah itu merupakan istilah yang awalnya
digunakan oleh Sloan, Direktur General Motors dalam bukunya The
Autobiography of a White Collar Worker, yang memiliki arti lebih luas. White-collar
menunjuk kaum peneruma gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam
pekerjaanya, seperti karyawan administrsi kantor, para manajer dan para
asistennya (Lihat Sutherland, 1949: 9, catatan kaki 7). Pelanggaran-pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh orang-orang terhormat ini biasanya berupa pemanfaatan
wewenang untuk kepentingan pribadi, biasanya dalam usaha untuk mempertahankan
jabatan atau memperoleh kekayaan. Terkait dengan hal ini, sistem keuangan negara
yang berlaku di negeri ini merupakan lahan yang subur bagi praktik-praktik yang
demikian. Selain itu, pemanfaatan sumber daya alam yang menjadi mesin utama
bagi negara dalam menghasilkan dana juga membuka kesempatan terjadinya
kejahatan oleh kerah puitih. White-collar crime dalam bentuk kejahatan
korporasi tercatat terjadi di bidang yang berhubungan dengan perlindungan
konsumen, pencemaran lingkungan, pembalakan hutan (Illegal loging).
Terdapat dua kategori kejahatan
dalam dimensi white-collar crime, menurut Clinard dan Quinney (1973),
yaitu occupational criminal behavior dan corporate criminal behavior.
Dalam menjabarkan cirri-ciri occupational crime behavior, Clinar dan
Quineey merujuk kepada rumusan tipologi oleh Bloch dan Geis (1970), yaitu
perbuatan yang dilakukan:- Oleh individu sebagai individu (misalnya pengacara, dokter);
- Oleh pegawai terhadap majikannya (misalnya kasus penggelapan);
- Oleh pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan (kasus monopoli);
- Oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum
- Oleh pedagan terhadap konsumen (pelanggaran konsumen).
Hagan (1989) memberikan tipologi white-collar
crime yang berangkat dari tipologi yang diutarakan oleh Edelhertz,.
Tipologi oleh Edelhertz adalah sebagai berikut:
- Kejahatan oleh orang-orang yag bekerja secara individual dan sementara (ad hoc), misalnya pelanggaran pajak, penipuan kartu kredit, dan lain-lain;
- Kejahatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan (yang sah) ileh orang yang mengoperasikan bisnis internal, pemerintahan, atau lain-lain kemapanan, dalam bentuk pelanggaran tugas atau loyalitas dan kesetiaan terhadap majikan dank lien, misalnya penggelapan, pencurian, penggajian pegawai palsu;
- Kejahatan yang sesekali dilakukakan dalam rangka memajukan usaha bisnis, misalnya pelanggaran antimonopoli, penyuapan, pelanggaran peraturan;
- White-collar crime sebagai bisnis, atau sebagai aktivitas utama. Konsep ini termasuk dalam bahasan kejahatan professional, misalnya penipuan layanan pengobatan dan kesehatan, undian palsu, dan sebagainya (lihat Muhammad Mustofa, 2010: 28) Ketentuan tipologi yang pertama dan kedua adalah bentuk kejahatan yang dijalankan oleh individu, sedangkan ketentuan yang ketiga dan keempat merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan oleh organisasi.
Kejahatan Korporasi
Kejahatan korporasi tidak dapat
dilihat sebagai tingkah laku yang dilakukan oleh orang, tetapi harus sebagai
tingkah laku organisasi yang kompleks. Kejahatan korporasi dapat dipahami
melalui teori organisasi untuk menjelaskan bagaimana korporasi sebagai
organisasi yang secara kodrati khas, yaitu organisasi berskala besar melakukan
tingkah laku yang melanggar hukum. Strtuktur dari organisasi korporasi ini
sangat luas sehingga menopang keadaan yang mendorong terjadinya penimpangan
oleh organisasi, disebabkan oleh menyebarnya tanggung jawab secara luas. Kodrat
tujuan korporasi untuk mendapatkan keuntungan yang merupakan cirri iklim sosal
industry dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati
pelanggaran hukum. Di dalam korporasi, terdapat jenjang-jenjang yang
memungkinkan setiap jenjang tersebut memiliki sikap tidak bertanggung jawab
(pelembagaan sikat tidak bertanggung jawab). Hal ini menyebabkan korporasi
bekerja dan memiliki fungsi seperti tirai, yang membolehkan setiap orang di
dalamnya tidak tersentuh oleh moral maupun hukum. Dari situasi seperti inilah
kejahatan korporasi hampir dapat terjadi. Mereka, eksekutif korporasi, dapat
mengelak dari tanggung jawab dengan dalih bahwa cara-cara tidak sah dalam
mencapai tujuan korporasi yang dirumuskan secara umum sudah merupakan sarana
yang tersedia tanpa dapat dikendalikan.
Differential Association adalah sebuah teori kriminologi yang melihat bahwa tindakan
kejahatan sebagai perilaku yang dipelajari. Teori yang dikemukakan oleh
Sutherland ini, berkeyakinan bahwa perilaku menyimpang disosialisasikan melalui
sebuah cara yang kurang memiliki perlawanan terhadap perilaku iti sendiri. Sama
halnya dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, yang disosialisasikan
melalui interaksi sosial dan ketaatan, begitu juga dengan kejahatan dan
perilaku menyimpang.
Sutherland
memberikan 9 prinsip dari teori Differential Association, yaitu:
1.
Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari
2.
Kejahatan dan perilaku menyimpang itu dipelajari dalam
sebuah interaksi dengan orang lain melalui proses komunikasi
3.
Belajar menjadi jahat terjadi di dalam primary
group (keluarga, teman, teman sepermainan atau sahabat paling dekat)
4.
Belajar menjadi jahat termasuk juga di dalamnya untuk
belajar mengenai teknik, tujuan, rasionalisasi, kebiasaan dan sikap
sehari-hari.
5.
Arah khusus dari tujuan dan sikap itu dipelajari dari
definisi situasi yang menguntungkan dan tidak menguntungkan.
6.
Seseorang menjadi penjahat apabila di dalam dirinya ada
pertimbangan bahwa dengan melanggar hukum akan mendapat keuntungan yang lebih
banyak daripada tidak melanggar hukum.
7.
Differential association bervariasi dalam
frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.
8.
Meskipun perilaku kejahatan (kriminal) adalah ekspresi
dari kebutuhan umum dan sikap, perilaku kriminal dan tujuannya tidak dijelaskan
atau dimaafkan oleh kebutuhan dan sikap sama, sedangkan perilaku non-kriminal
dijelaskan oleh kebutuhan umum dan sikap sama.
Di mana ada
kekuasaan, pasti ada korupsi. Hal ini telah menjadi kodrat dari kekuasaan itu
sendiri, yang menjadi “pintu masuk” bagi terjadinya tindakan korupsi. Kekuasaan
dan korupsi yang selalu berdampingan, layaknya dua sisi mata uang, merupakan
hakikat dari pernyataan yang disampaikan oleh Lord Acton, dari Universitas
Cambridge, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Ada sebuah postulat yang mengatakan
bahwa korupsi selalu mengikuti watak kekuasaan. Dalam artian bahwa korupsi itu
ada baik di pemerintahan yang sentralistik maupun desentralistik. Jika
pemerintahan suatu negara adalah sentralistik, korupsi juga akan bersifat sentralistik.
Semakin kuat kekuasaan itu tersentral, semakin besar pula terjadi kasus korupsi
di kekuasaan pusat tersebut. Di Indonesia, hal ini terjadi pada masa Orde Baru.
Sebaliknya, jika pemerintahan suatu negara adalah desentralistik, misalnya
dengan Otonomi Daerah, tindakan korupsi akan tersebar pula mengikuti pola
pemerintahan desentralistik tersebut. Dengan kata lain, praktek korupsi juga
terjadi di pemerintahan tingkat daerah. Karena kekuasaan berpindah dari satu
pusat kekuasaan ke banyak pusat kekuasaan yang otonom, korupsi pun mengikutinya
berpindah dari satu pusat kekuasaan kepada banyak pusat kekuasaan. Situasi
seperti ini terjadi pada masa sekarang di Indonesia.
Sesuai dengan
definisinya, korupsi sebagai prilaku yang menyimpang merupakan suatu tindakan
yang melanggar aturan etis formal yang dilakukan oleh seseorang dalam posisi
otoritas publik (penguasa). Korupsi cenderung dilakukan oleh orang yang
memiliki kuasa atau wewenang terhadap sesuatu. Apabila seseorang tersebut tidak
memiliki kuasa, kecil kemungkinan bagi dirinya untuk melakukan korupsi. Namun,
merupakan suatu kemustahilan bagi manusia yang tidak memiliki sebuah
‘kekuasaan’. Selain itu, ciri paling utama dari korupsi adalah tindakan
tersebut dilakukan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata dan
merugikan pihak lain di luar dirinya. Contoh paling mudah adalah seorang
mahasiswa yang bolos kuliah dan meminta temannya untuk mengisi buku hadir.
Sejatinya, ia telah melakukan korupsi karena ia memiliki kuasa terhadap
kehadiran dan ketidakhadiran dirinya di dalam kelas. Dia melakukan tindakan
tersebut untuk kepentingannya sendiri.
Melihat konteks
kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan
korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang
dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah
dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar
hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang kekuasaan
(memiliki wewenang) secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan
yang akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan (kekuasaan politik)
itu, yaitu mengendalikan tingkah laku manusia (masyarakat) secara koersif
(memaksa) agar supaya masyarakat bersedia tunduk kepada negara (pemerintah).
Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan yang diberlakukan sejatinya merupakan
sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang
kekuasaan sendiri. Dari sini lah peluang untuk terjadinya tindakan korupsi
besar sekali.
Mengacu pada
kasus korupsi Wisma Atlet, dapat dijelaskan bahwa tindakan korupsi yang
dilakukan oleh Nazaruddin Cs, dan pihak lain yang masih dalam proses hukum itu
dapat terlaksana karena dia memiliki suatu kekuasaan dan wewenang. Seperti yang
kita ketahui bahwa mereka para politisi
yang memegang peranan penting dalam Partai Demokrat. Posisi yang demikian sangat memudahkannya
untuk mempengaruhi suatu kebijakan
sehingga ia dapat meraup keuntungan yang besar untuk dirinya sendiri. Kasus ini
sama seperti yang dilakukan Gayus Tambunan melakukan pelanggaran dengan
memanfaatkan posisinya sebagai pegawai Sub Direktorat Banding Direktorat
Keberatan dan Banding, pada pertengahan 2007
berhasil memenangkan lebih dari 40 kasus banding perusahaan. Berkaitan
dengan ini, Gayus memiliki peluang besar untuk memenangkan Ditjen Pajak dalam
pengadilan pajak, yaitu dengan memainkan selisih pemenangan banding. Misalnya
seorang wajib pajak seharusnya membayar pajak Rp 3 Miliar. Lalu dia keberatan,
ditolak lalu banding. Di pengadilan pajak itu Nazaruddin Cs. memenangkan
banding wajib pajak.
Manusia memiliki
sifat dasar untuk terus mengonsumsi, atau paling tidak memenuhi kebutuhan
pokoknya. Oleh karena itu, besar kemungkinan tuntutan-tuntutan pribadi tetap
membayangi manusia di dalam melaksanakan kewajibannya, yang seharusnya
kewajiban itu menuntut seseorang untuk dapat berperilaku bersih dan
mengutamakan kepentingan umum dan tanggung jawab. Hal ini pula yang menimpa Wisma
Atlet. Ada kecurigaan bahwa kasus korupsi, penggelapan dan pencucian uang
disebabkan oleh suap yang dilakukan oleh para pengusaha agar mau memudahkan
jalan bagi usaha mereka.
Korupsi yang
merugikan negara dan masyarakat banyak biasanya bermula dari penguasa. Kaitan
tindakan kejahatan, korupsi, antara penguasa dan keterlibatan para pengusaha,
secara sederhan dapat diilustrasikan sebagai berikut: penduasa dapat memberikan
akses kepada para pengusaha untuk melakukan eksploitasi rente ekonomi yang
merugikan konsumen dan masyarakat luas. Di lain pihak pengusaha diuntungkan,
dan bagian keuntungan tersebut harus dibayar (diserahkan) kepada pemberi akses
tadi, yaitu penguasa. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi,
antara lain adalah korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature
ekonomi-politik, sering disepadankan dengan praktek politik di mana pemerintah
atau penguasa berinteraksi secara tertutup (idak diketahui oleh
masyarakat) dengan sektor swasta besar (pengusaha kelas kakap). Dalam
ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun politik terjadi hanya untuk
kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest group) yang
terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi yang seperti ini
terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau tatanan hukum yang
memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya persengkongkolan seperti
ini membuka peluang besar bagi hukum untuk dipermainkan sehingga hukum
seorah-olah telah dipegang oleh tangan-tangan tertentu.
Sistem
korporatisme akan menimbulkan ketidakstabilan dan rakyat menjadi pihak yang
dirugikan. Dalam prakteknya, korporatisme biasanya berbarengan dengan
praktek-praktek haram lainnya yang disebut dengan rent seeking (memburu
rente) yang dilakukan oleh para elite penguasa atau pun keluarga di lingkup
elite. Rent seeking dalam prakteknya adalah menjualbelikan jabatan
publik yang dimiliki oleh pejabat publik guna memperoleh kekuntungan ekonomi,
yang prakteknya berwatak “koruptif”.
Seperti yang
disampaikan oleh Amien Rais tentang empat tipe korupsi, secara jelas bahwa
bagaimanapun tindakan korupsi itu, tidak akan lepas dari apa yang namanya
persengkongkolan (korporasi) antara penguasa (penguasa merupakan pihak pertama
yang pada awalnya membuka akses untuk terjadinya kecurangan) dengan para
pengusaha (sektor swasta, yang berpotensi memberikan rangsangan kepada penguasa
untuk membuka akses kemudahan bagi pelanggaran hukum). Korupsi atau kejahtan
korporasi juga didorong oleh pengaruh hasrat dan ketamakan dari dalam diri
seseorang (dalam hal ini adalah penguasa), serta tuntutan keluarga (korupsi
nepotistik).
Prof. Muhammad
Mustofa, dalam bukunya Kleptokrasi, menjelaskan keterkaitan konsep
keluaga dalam tatanan sosial Indonesia dengan tindakan korupsi. Dalam
masyarakat Indonesia, keluarga dimaknai sebagai kelompok yang tidak hanya
terdiri dari ayah, ibum dan anak-anak (keluarga batih), tetapi juga berupa
konsep keluarga besar yang meliputi seluruh kerabat dekat dan kerabat jauh,
seperti nenek dan nenek, paman dan bibi beserta anak-anaknya, baik dari pihak
ayah maupun ibu. Dalam tatanan sosial terdapat suatu tuntutan dan harapan peran
agar setiap individu di dalam keluarga itu bertanggung jawab terhadap
anggota-anggota keluaraga besa yang sedang tidak beruntung.
Merujuk kepada
pengertian white-collar crime yang menunjukkan suatu tindakan
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat, sesungguhnya kasus korupsi
Wisma Atlet sangat dapat dilihat dari pisau bedah ini. Yang pertama sekali
harus diperhatikan adalah kata “orang terhormat” tersebut. Oleh karena itu, penulis lebih menekankan
pengertian white-collar ini sebagai istilah yang memiliki makna pada
awal kemunculannya, yang digunakan oleh Sloan, yaitu white-collar yang
menunjuk kaum penerima gaji yang mengenakan pakaian yang bagus-bagus dalam
pekerjaanya seperti Nazaruddin Cs. Tipologi dari white-collar crime
yang dibuat oleh Clinard dan Quinney (1973) adalah occupational criminal
behavior dan corporate criminal behavior. Dua tipologi ini
kemudian dibagi menjadi lima tipe cirri pelaku dan tujuan, yaitu 1) pelanggaran
individu sebgai individu, 2) pelanggaran pegawai terhadap majikan, 3)
pelanggaran pejabat pembuat keibjakan untuk kepentingan umum, 4) pelanggaran
agen korporasi terhadap kepentingan umum, dan 5) pelanggaran oleh pedagan
terhadap konsumen. Kejahatan korupsi adalah pelanggaran yang dilakukan oleh
orang-orang terhormat tadi. Kejahatan ini dapat dilakukan oleh individu sebagai
individu, atau pegawai terhadap majikannya (kasus penggelapan). Melihat secara
sepintas kasus korupsi yang dilakukan oleh Nazaruddin Cs., tindakannya temasuk
dalam kategori ini, yaitu dilakukan oleh individu sebagai individu demi
keuntungan yang dinikmati oleh individu. Namun demikian, adanya dugaan
keterlibatan para pengusaha lain, seperti Andi Kosasih, dan para petinggi dari
Kepolisian, menjadikan kasus korupsi Nazaruddin Cs. (makelar kasus) sebagai
bentuk dari kejaharan korporasi (dilakukan oleh organisasi, dalam bentuk
struktur organisasi yang saling menguntungkan dan melindungi, serta melempar
tanggung jawab). Aksi seperti ini termasuk dalam tipe 3 dan tipe 4 yang
disampaikan oleh Clinard dan Quinney, yaitu pelanggaran yang dilakukan oleh
pejabat pembuat kebijakan untuk kepentingan majikan atau pihak tertentu;
pelanggaran yang dilakukan oleh agen korporasi terhadap kepentingan umum.
Berkaitan dengan hal ini, pengusaha memanfaatkan posisi Nazaruddin Cs. untuk
mempermudah prosedural pengurusan pajak, dan bahkan melibatkan pihak kepolisian
untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan.
Prof. Muhammad Mustofa, memberikan
penjelasan tentang teori yang digagas oleh Sutherland, berkaitan dengan kasus
korupsi ini. Sutherland menganalisa dan menjelaskan gejala white-collar
crime dengan menggunakan teori different association. Sutherland
menunjukkan bahwa para pelaku kejahatan tersebut dalam melaksanakan
pekerjaannya melakukan pelanggaran hukum, tetapi bukan merupakan kelanjutan
dari kenakalan yang pernah dilakukan pada masa anak atau remaja. Konsep ini
menunjukkan bahwa mereka berasal dari kalangan atas yang berpendidikan. Ketika
para pelaku ini belajar masalah bisnis, pada saat itu pula lah mereka belajar
tentang bagaimana cara melakukan pelanggaran hukum (dalam different
association dikatakan bahwa kejahatan didapat dari proses belajar). Konsep bisnis
dihayati sebagai sikap untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan segala
cara. Dalam melakukan bisnis ini, sering terjadi penyelewengan hukum demi
kelancaran jalannya bisnis. Penyimpangan sengaja dilakukan untuk meningkatkan
keuntungan. Misalnya pelaku usaha yang sengaja membuat iklan terlalu berlebihan
dan menyesatkan (terdapat unsur kebohongan) agar konsumen mau membeli produk
mereka. Hal ini merupakan sebagian kecil dari banyak contoh yang memperlihatkan
bentuk kecurangan dalam perilaku bisnis. Biasanya dalam melakukan kecurangan,
pelaku bisnis jarang sekali mendapatkan kritik dari media massa, karena
sejatinya media massa juga merupakan palaku bisnis. Para pelaku bisnis terbebas
dari kritik dan terbebas dari kemungkinan diajukan ke pengadilan karena mereka
mempuyai hubungan yang erat dengan birokrasi.
Adanya faktor tuntutan dari konsep
keluarga besar yang ada dalam masyarakat Indonesia, wewenang yang dimiliki
(kekuasaan), tuntutan bisnis dan keuntungan pribadi, persengkokolan (korporasi)
menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang sudah biasa dan lazim saja
dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mengerucutkan semua
faktor-faktor yang ada tersebut, semuanya kembali kepada hati nurani dan
keimanan seseorang dalam mengambil sikap dan melaksanakan amanah yang mereka
emban.
Mustofa, Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika, Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan.
Djafar, Wahyudi. Perselingkuhan Birokrasi dan Korupsi, http://www.legalitas.org.
Nasution, S. A. Korupsi dan kekuasaan, kolom Opini. Waspada Online. http://www.waspada.co.id/.
Rastika, Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun. Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses tanggal 7 Desember, 2010.
No comments:
Post a Comment