Tuesday, February 12, 2013

Teori Hukum Post Modernisme


Perdebatan Teori Hukum Post Modernisme

Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena post-modern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak post-modern, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum post-modem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Paham post-modem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:

 “Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. (Stanley J. Gren-i, 2001: 69).

Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an?Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini.

Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.
Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.  Bagi para penganut ajaran postmodern, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati. (Orinton)

No comments:

Post a Comment