Perdebatan Teori Hukum Post Modernisme
Istilah
“postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi
disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua
kalimat saja karena post-modern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling
berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan
seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak
dibutuhkan. Itulah dia watak post-modern, suatu ungkapan sangat populer, tetapi
tanpa definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum post-modem,
“perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak
mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada
musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang
ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu
dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada
suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah
mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara
berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan
jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk
berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan),
bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada
kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran
menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari
kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang
terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran
yang objektif.
Paham post-modem juga menolak teori
korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya
hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan
realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:
“Jika Anda berkata ada sebuah roti
apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan
apakah perkataan Anda benar. “ (Stanley J. Gren-i, 2001:
69).
Dunia
akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi.
Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum
manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai
membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan
mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam
pada awal dekade 1960-an?Mengapa kerusakan
lingkungan terjadi di mana-mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua
masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di
mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak
kemajuannya di atas menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas
betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh
sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan
pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini.
Karena
itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu
sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin
lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal
menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru
terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena
sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap
pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga
pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.
Postmodern
merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana
diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene
Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era
modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan
berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan
konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos,
takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis
lainnya. Bagi para penganut ajaran postmodern, “perbedaan” merupakan
inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal
yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada
musyawarah-musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang
ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu
dihormati. (Orinton)
No comments:
Post a Comment