Perdebatan Teori Hukum Responsif
Lahirnya Hukum
Responsif dilatarbelakangi
dengan munculnya masalah- masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan,
kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan
kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada
saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum
dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet
dan Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa
mengatasi persoalan-persoalan itu.
Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku
dan terlalu menekankan pada aspek legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan
lain seperti dalam hal masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan
ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga
pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari
peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak
menutup
diri terhadap factor-faktor social
yang mempengaruhi perkembangan masyarakat.
Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan
pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu
sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya
hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan
dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai
sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan
dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan,
bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari
nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model
hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang
dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel.
Hukum tidak hanya rules (logic &
rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi
penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan
hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri
dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat
partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen
masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus
bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya.
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan
kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan
oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di
dalam perspektif konsumen”
Nonet
dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi
antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi
dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada
prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari
institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa
institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada
umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi
institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam
lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus
kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan
untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan
integritas.
Hukum
responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan
tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan.
Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri
melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih
besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil
dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang
terikat kepada konsekwensi.
Menurut
Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan
kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka
kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisispasi
rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan,
yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak
masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma
kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang
menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik
dalam dunia modern.
Adapun gagasan atau pandangan yang beliau sampaikan
tentang perlunya perubahan secara radikal dalam pemikiran hukum yang selama ini
berkembang, menuju ke arah pemikiran yang berorientasi kepada konsep Negara
Berdasar Hukum yang berbasis sosial bukan hanya berbasis yuridis. Beliau
mencoba menggunakan sudut pandang sosiologis dalam mengkontruksi hukum, suatu
hal yang selama ini belum banyak digunakan oleh pemikir-pemikir hukum di
Indonesia.
Gagasan lain yang disampaikan antara lain perlunya
Indonesia beralih dari cara penegakan hukum sebagaimana yang selama ini
dijalankan, yaitu model penegakan hukum yang bersifat formal-positivis yang
dianggap hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal
seperti di antisipasi oleh hukum positif, sedangkan untuk menjelaskan suasana
kemelut dan keguncangan yang terjadi di Indonesia hukum positif masih memiliki
keterbatasan. Hal ini bisa dilihat pada kemampuan hukum untuk menangani
misalnya masalah korupsi, sampai saat ini belum ada hasil yang memuaskan.
Dari konsepsi hukum yang disampaikan kedua pemikir hukum
ini dapatlah dilihat bahwa konsepsi
hukum responsif dikontruksi oleh dua
mazhab hukum yang belakangan cukup dikenal perkembangannya. Pemikiran
Satjipto Rahardjo dengan konsep hukum progresifnya yang menyatakan bahwa hukum
hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan
segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan
pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Keyakinan beliau terhadap sosiologi hukum sebagai alat bantu dalam
mendekontruksi pemikiran hukum semakin mengkristalkan pemikiran bahwa konsepsi hukum responsif yang digagas
Philippe Nonet dan Selznick memang didukung oleh madzhab sociological jurisprudence
yang memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas
mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu berproses dan
diaplikasikan.
Hukum responsif, hukum otonom dan hukum repressif dapat
dipahami sebagai tiga respon terhadap dilemma yang ada antara integritas dan
keterbukaan. Tanda-tanda dari hukum yang represif adalah adaptasi pasif dan
oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap social dan politik. Hukum otonom merupakan
reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau
perhatian utamanya adalah bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut. Tipe hukum
yang ketiga berusaha untuk mengatasi ketegangan tersebut. Ini disebut responsive, bukan terbuka atau adaptif,
untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab, dan dengan
demikian adaptasi yang selektif. Suatu
institusi yang responsif mempertahanan secara kuat hal-hal yang esensial bagi
integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan, kekuatan-kekuatan baru di
dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal
itu, hukum responsive memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas
dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan di antara keduanya.
Lembaga yang responsive menganggap tekanan-tekanan social sebagai sumber
pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi-diri. Agar mendapatkan sosok
seperti itu, sebuah institusi memerlukan panduan ke rah tujuan.Tujuan menetapkan standar untuk
membuka jalan melakukan perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar
digunakan, tujuan dapat mengontrol diskresi administrative, dan dengan demikian
dapat mengurangi risiko terjadinya pelepasan institusional. Sebaliknya,
ketiadaan tujuan berakar pada kelakukan serta opportuninisme.
Dalam
kenyataannya kondisi-kondisi yang buruh ini terkait satu sama lain dan hidup
berdampingan. Suatu institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan,
merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang memadai untuk hal-hal
yang benar-benar dipertaruhkan dalam konfliknya dengan lingkungan sekitar. Institusi
ini sering beradaptasi secara opportunis karena
ia tidak mempunyai criteria untuk secara rasioanal merekonstruksi
kebijakan-kebijakan yang sudah ketinggalan zaman atau yang tidak layak lagi.
Hanya ketika sebuah lembaga benar-benar mempunyai tujuan barulah ada dapat
panduan antara integritas dan Keterbukaan, peraturan dan diskresi. Jadi hukum
responsive berangkapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup objektif dan cukup
otoritatif untuk mengontrol perbuatan peraturan yang adaptif.
Dalam
berbagai kasus berkaitan suatu produk hukum, baik yang keluar dari lembaga yudikatif
maupun eksekutif, sepanjang menyangkut kepentingan
orang banyak, biasanya sering menjadi polemik masyarakat luas, mulai dari para
pakar hukum hingga masyarakat awam. Fenomena ini terjadi bisa dipahami sebagai
suatu bentuk makin tingginya pemahaman masyarakat terhadap hukum, atau boleh
jadi telah terjadi something wrong dengan produk hukum itu sendiri,
seiring dengan perkembangan dan tuntutan demokratisasi dan transparansi dalam
penyelenggaraan negara. Disamping itu, hal tersebut dapat pula dipahami sebagai
adanya sesuatu yang salah pada lembaga hukumnya, dalam menerapkan hukum.
Pergulatan
mengenai tujuan merupakan upaya yang beresiko bagi sebuah institusi hukum.
Misalnya dalam suatu perusahaan yang besar, warisan dari masa lalu dengan mudah
dianggap sebagai rintangan bagi rasionalitas. Pada prinsipnya, Organisasi ini
bebas untuk tidak mengembalikan aturan-aturan yang dimilikinya dan mengubah
Prosedur kerjanya. Namun sebagian institusi lain, diantaranya lembaga keagamaan
dan hukum sangat tergantung pada ritual dan preseden untuk memelihara identitas
atau mempertahankan legitimasi. Bagi institusi-institusi ini, jalan menuju
responsivitas sangatlah membahayakan. Perbedaan antara hukum otonom dan hukum
responsive sebagian merupakan hasil dari penapsiran yang berbeda terhadap
Risiko tersebut. Hukum otonom menganut perspektif “Resiko rendah”. Ia bersikap
waspada terhadap apa saja yang dapat memicu gugatan terhadap otoritas yang
sudah diterima. Dalam menemukan suatu tertib hukum yang terbuka dan purposive, pada
pendukung hukum yang terbuka dan purposive, para pendukung hukum responsive
lebih memiliki alternatif “Risiko tinggi”.
Dalam
proses Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, teori hukum
responsive ini telah banyak diterapkan dalam klausul berbagai Undang-undang,
bahkan hamper semua UU, khususnya yang berkaiatan dengan pelayanan publik
memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk memberikan masukan, baik langsung
atau tidak langsung dalam proses perumusan suatu UU. Hal ini diterapkan sejak era
reformasi berjalan hingga kini. (Orinton)
bermanfaat , kunjungi juga Diskusi Kiat Sukses Kuliah
ReplyDeletesumber tolong cantumkan bosku
ReplyDelete